Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto menyebut peliknya penolakkan pekerja dan pengusaha terhadap rencana pemerintah menghimpun iuran wajib melalui Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menunjukkan adanya persoalan yang cukup kompleks.
Menurutnya, penolakan datang dari pekerja dan pengusaha karena menilai kewajiban tersebut sebagai beban di tengah situasi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja.
Dia melanjutkan bahwa perdebatan yang lahir membuktikan bahwa masalah di sektor perumahan cukup kompleks termasuk soal pembiayaannya. Untuk itu, penyelesaian masalah perumahan rakyat tidak bisa lagi diatasi dengan setengah hati, tetapi harus menyeluruh termasuk secara kelembagaan.
Apalagi, kata Joko, tanpa institusi yang kuat, maka sulit diharapkan adanya regulasi yang baik termasuk kebijakan pembiayaan.
“Saat ini kita dihadapkan kepada angka backlog [kekurangan pasokan] perumahan hingga 12,7 juta dan angka itu dipastikan bertambah setiap tahunnya. Kita juga dituntut untuk terus memikirkan dari mana sumber anggaran perumahan, karena APBN sangat limitatif. Lalu, seperti apa institusi yang mengurusi masalah di sektor perumahan ini?,” ujarnya kepada wartawan, dikutip melalui rilisnya, Sabtu (8/6/2024).
Lebih lanjut, CEO Buana Kassiti Group itu mengamini rencana pemberlakuan iuran Tapera sebenarnya merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi backlog perumahan.
Baca Juga
Dia memahami bahwa pemerintah ingin penyediaan perumahan dapat dipercepat dan terjangkau oleh masyarakat. Akan tetapi, ketika pemerintah menuai respon beragam termasuk adanya penolakan. Hal itu disebabkan oleh tiga faktor yakni adanya distrust (ketidakpercayaan), historikal (sejarah dari pengalaman sebelumnya), serta minimnya sosialisasi kepada masyarakat.
“Jadi harus ada upaya dari pemerintah untuk mengelola isu-isu tersebut sebagai wujud transparansi,” ungkap Joko.
Tak hanya itu, dia melanjutkan bahwa di tengah penolakan masyarakat terhadap iuran Tapera dan belum berjalannya program tersebut, pembiayaan perumahan harus tetap terjaga agar hak masyarakat untuk memiliki hunian yang layak dapat terwujud dan backlog perumahan dapat dituntaskan.
Misalnya, dia mencontohkan salah satunya dengan memberdayakan dana-dana masyarakat yang telah ada (berjalan) seperti dana pensiun, dana asuransi, dana jaminan sosial tenaga kerja, serta jika memungkinkan termasuk dana pengelolaan keuangan haji.
Dana-dana itu, jelas Joko, bisa digunakan tetapi tidak dalam posisi investasi langsung (direct investment) namun digunakan sebagai dana pendampingan.
Nantinya, pemerintah dapat menerbitkan payung hukum berupa keputusan presiden, peraturan presiden atau peraturan pemerintah yang mengatur agar terhadap dana-dana tersebut minimal 5 persen harus ditempatkan sebagai dana pendampingan untuk memperkuat program pembiayaan perumahan.
Bahkan, Joko menegaskan bahwa dana pendampingan ini bisa ditempatkan di bank yang telah diikat komitmen atau penugasan dari pemerintah untuk mendukung program pembiayaan perumahan.
Namun dengan catatan tingkat suku bunganya sekitar 3 persen, sehingga bank dapat memberikan bunga kredit pemilikan rumah (KPR) yang terjangkau maksimal 6 persen untuk pembiayaan rumah di atas MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) atau sampai dengan harga Rp500 juta. Mengingat, ceruk pasar di segmen ini cukup signifikan mencapai 35 persen.
“Harus ada titik tengah (bunga dana pendampingan) sebagai patokan sehingga dana yang dipakai untuk pembiayaan perumahan bisa berbiaya rendah dan terjangkau masyarakat,” ucapnya.
Alumnus Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta itu juga menilai langkah mendorong pemanfaatan dana-dana masyarakat yang sudah tersedia untuk dana pendampingan perumahan bisa menjadi upaya transformasi (perubahan) program pembiayaan perumahan sebelum tercapainya pertumbuhan pembiayaan lewat APBN maupun Tapera.
Untuk diketahui, saat ini anggaran perumahan dari APBN hanya sekitar 0,4 persen dari total keseluruhan APBN. Anggaran tersebut sangat terbatas apalagi untuk membiayai target pembangunan 3 juta rumah yang nantinya menjadi program pemerintahan baru mendatang.
Dengan adanya dana pendampingan, peningkatan anggaran perumahan dari APBN dan nantinya dari Tapera – Joko Suranto optimistis realisasi penyediaan perumahan nasional setidaknya mampu mencapai 1,5 juta unit per tahun.
“[Harapannya] masyarakat yang belum memiliki rumah dapat didorong dan berkesempatan untuk memiliki rumah sendiri, karena pemerintah sudah menyiapkan stimulus dan insentifnya,” pungkas Joko.