Bisnis.com, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat adanya indikasi kerugian dan kerugian negara senilai Rp93,44 triliun dari keuangan negara pada periode 2017-2023 yang tercantum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) Semester II/2023.
Indikasi kerugian serta nilai kerugian tersebut berasal dari 437 laporan. Di mana terdiri dari 28 laporan haril Pemeriksan Investigasi (PI) yang memilki nilai indikasi kerugian Rp32,53 triliun.
Sementara 409 laporan yang berasal dari hasil penghitungan kerugian negara (PKN) mencapai Rp60,91 triliun kepada instansi yang berwenang. BPK juga melaksanakan pemberian keterangan ahli (PKA) atas 386 kasus pada tahap persidangan.
Dalam prosesnya, pada periode 2017-2023 terdapat 28 laporan hasil pemeriksaan investigatif (PI) yang sudah disampaikan, 11 laporan telah dimanfaatkan dalam proses penyelidikan dan 17 laporan dimanfaatkan dalam proses penyidikan.
Sebanyak 409 laporan hasil PKN yang telah disampaikan, 82 laporan sudah dimanfaatkan dalam proses penyidikan dan 327 kasus sudah dinyatakan P-21 (berkas penyidikan sudah lengkap).
Selain itu, terdapat 368 pemberian keterangan ahli di persidangan seluruhnya digunakan dalam tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Baca Juga
Meski mencatat adanya kerugian, Kepala BPK Isma Yatun melaporkan sepanjang 2005 hingga 2023, telah menyelamatkan aset dan uang negara senilai Rp136,88 triliun.
Dirinya menyampaikan penyelematan tersebut berasal dari tindak lanjut pemerintah atas rekomendasi BPK pada periode tersebut. Secara keseluruhan, rekomendasi yang dijalankan telah mencapai 78,2% sepanjang 2005-2023.
“Dari tindak lanjut tersebut, BPK telah melakukan penyelamatan uang dan aset negara berupa penyerahan aset dan atau penyetoran uang ke kas negara/daerah/perusahaan atas hasil pemeriksaan 2005 hingga 2023 senilai Rp136,88 triliun,” ungkapnya dalam penyampaian IHPS II/2023 yang berlangsung dalam Sidang Paripurna DPR, Selasa (4/6/2024).
Adapun, dari Rp136,88 triliun, Rp21,87 triliun di antaranya adalah atas hasil pemeriksaan periode RPJMN 2020 - 2023.
Hasil Audit BPK Terbaru
Sementara itu dalam hasil audit BPK terbaru yang dituangkan di dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II/2023, memuat ringkasan dari 651 laporan hasil pemeriksaan (LHP), yang terdiri atas 1 LHP Keuangan, 288 LHP Kinerja, dan 362 LHP Dengan Tujuan Tertentu (DTT). Dalam laporan ini BPK menyoroti sejumlah temuan seperti:
1. Persoalan Bansos Rugikan Negara
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan bantuan sosial (bansos) senilai Rp208,52 miliar tidak kembali ke kas negara, meski tidak diterima keluarga penerima manfaat.
"Pada pemeriksaan pengelolaan pendapatan dan belanjaan kementerian dan lembaga, ditemukan bantuan keluarganya penerima manfaat yang tidak bertransaksi senilai Rp208,52 miliar belum dikembalikan ke kas negara," ungkap Isma di DPR RI, Selasa (4/6/2024).
Tak sampai situ, BPK juga adanya kelebihan dan potensi kelebihan pembayaran senilai Rp166,27 miliar dan US$153,32 ribu (sekitar Rp2,14 miliar) dalam IHPS 2 tahun 2023.
"Yang disebabkan pelaksanaan belanja modal tahun 2022 dan semester 1 tahun 2023 tidak sesuai ketentuan," lanjutnya.
2. IKN Belum Sesuai Arah Pembangunan
BPK jug menyoroti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Dalam pemeriksaan terhadap pembangunan IKN yang telah berlangsung sejak 2022, BPK melihat pembangunan infrastruktur yang berlangsung tersebut belum sepenuhnya selaras dengan RPJMN Tahun 2020-2024, Rencana Strategis (Renstra) Kementerian PUPR Tahun 2020-2024, dan Rencana Induk IKN.
Sementara perencanaan pendanaan belum sepenuhnya memadai, antara lain sumber pendanaan alternatif selain APBN berupa KPBU dan swasta murni/BUMN/BUMD yang belum dapat terlaksana.
Selanjutnya fakta yang terjadi di lapangan bahwa persiapan pembangunan infrastruktur IKN belum memadai yang ditunjukkan oleh adanya kendala mekanisme pelepasan kawasan hutan.
“2.085,62 Ha dari 36.150 Ha tanah masih dalam penguasaan pihak lain karena belum diterbitkannya hak pengelolaan lahan [HPL], serta belum selesainya proses sertifikasi atas 5 area hasil pengadaan tanah,” tulis BPK dalam dokumen tersebut.
Persoalan lain, pelaksanaan manajemen rantai pasok dan peralatan konstruksi untuk pembangunan infrastruktur IKN Tahap I juga belum optimal.
BPK mencatat kurangnya pasokan material dan peralatan konstruksi untuk pembangunan IKN, harga pasar material batu split dan sewa kapal tongkang tidak sepenuhnya terkendali, pelabuhan bongkar muat untuk melayani pembangunan IKN belum dipersiapkan secara menyeluruh, dan kurangnya pasokan air untuk pengolahan beton.
Terakhir, Kementerian PUPR belum sepenuhnya memiliki rancangan serah terima aset, rencana alokasi anggaran operasional, serta mekanisme pemeliharaan dan pengelolaan aset dari hasil pembangunan infrastruktur IKN Tahap I.
Untuk mengatasi persoalan ini, BPK meminta Kementerian PUPR bekerja sama dengan stakeholder terkait di luar instansi guna bersama-sama merencanakan suatu skema yang dibutuhkan.
3. Indikasi kerugian negara di BUMN
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan juga mencatat sejumlah masalah yang hinggap di tiga BUMN, yakni PT Pelabuhan Indonesia (Persero) alias Pelindo, PT Pupuk Kalimantan Timur, dan PT Indofarma Tbk. (INAF).
BPK menemukan pengelolaan piutang atas pemanfaatan lahan Pelindo oleh pihak lain menunjukkan permasalahan.
“Di antaranya belum terdapat kesepakatan penyelesaian atas piutang lahan antar-BUMN, penyelesaian atas piutang lahan dengan mitra swasta berlarut-larut, dan lahan yang telah dikuasai belum dapat dikerjasamakan dengan mitra lain,” tulis laporan BPK, dikutip Selasa (4/6/2024).
Selain itu, salah satu Hak Pengelolaan (HPL) yang dimiliki Pelindo hampir sepenuhnya dikuasai oleh masyarakat. Ini membuat Pelindo tidak dapat melakukan pengelolaan atas HPL tersebut.
Masalah berikutnya datang dari PT Pupuk Kalimantan atau Pupuk Kaltim. BPK menemukan bahwa Pupuk Kaltim belum mengajukan klaim asuransi secara penuh untuk mengganti biaya perbaikan pabrik PKT-5 sebesar Rp288,3 miliar.
Hal tersebut dikarenakan dokumen belum lengkap, serta terdapat penambahan premi asuransi yang tidak diikuti dengan perubahan volume dan objek pertanggungan.
Di sisi lain, Indofarma dan anak perusahaanya PT Indofarma Global Medika terlibat dalam sejumlah aktivitas berindikasi fraud, sehingga berpotensi membuat negara rugi ratusan miliar.
BPK melaporkan bahwa aktivitas tersebut meliputi transaksi jual beli fiktif pada unit bisnis Fast Moving Consumer Goods (FMCG) dan penempatan dana deposito atas nama pribadi di Koperasi Simpan Pinjam Nusantara.
Selain itu, BPK menemukan adanya penggadaian deposito kepada PT Bank Oke Indonesia Tbk. (DNAR) untuk kepentingan pihak lain. INAF juga melakukan pinjaman online dan menggunakan dana restitusi pajak untuk kepentingan di luar perusahaan.
Perseroan juga menampung dana restitusi pajak pada rekening bank yang tidak dilaporkan di laporan keuangan, melakukan windows dressing laporan keuangan, dan membayar asuransi purnajabatan dengan jumlah melebihi ketentuan.
“Permasalahan tersebut mengakibatkan indikasi kerugian sebesar Rp278,42 miliar dan potensi kerugian sebesar Rp18,26 miliar atas beban pajak dari penjualan fiktif FMCG,” tulis BPK.
Tak cuma itu, BPK juga melaporkan Indofarma melakukan pengadaan alat kesehatan tanpa studi kelayakan dan penjualan tanpa analisa kemampuan keuangan pelanggan, yang mengakibatkan indikasi kerugian sebesar Rp16,35 miliar dan potensi kerugian sebesar Rp146,57 miliar.
“Antara lain, pengadaan serta penjualan teleCTG, masker, PCR, rapid test, dan isolation transportation yang mengakibatkan indikasi kerugian sebesar Rp16,35 miliar serta potensi kerugian sebesar Rp146,57 miliar,” tulis laporan IHPS.
Potensi kerugian sebanyak Rp146,57 miliar tersebut berasal dari piutang macet sebesar Rp122,93 miliar dan persediaan yang tidak dapat terjual senilai Rp23,64 miliar.