Bisnis.com, JAKARTA – Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Benedictus Raksaka Mahi menyoroti minimnya ruang fiskal pemerintah karena besarnya pembayaran utang.
Raksaka mewaspadai kas negara untuk membayar utang yang kian naik, dapat semakin mempersempit ruang fiskal APBN dalam melakukan manuver kebijakan apabila terjadi kondisi yang tidak diinginkan.
“Debt-to-GDP ratio kita masih aman, tapi tren pembayaran bunga, ini perlu diwaspadai, itu kedepannya bisa mengurangi fiskal buffer kita,” ungkapnya dalam Webiner FEB UI bertema “Mengarungi Gelombang Turbulensi Ekonomi 2024: Tantangan dan Strategi”, Jumat (31/5/2024).
Mengacu dokumen APBN Kita per Mei 2024, utang pemerintah mencapai Rp8.338,43 triliun atau setara dengan 38,64% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Sementara mengacu pada realisasi APBN 2023, realisasi belanja negara mencapai Rp3.121,94 triliun. Di mana pembayaran bunga utang mencapain Rp439,88 triliun.
Untuk itu, dirinya mendorong pemerintah untuk meningkatkan ruang fiskal dengan meningkatkan pendapatan negara, khususnya dari perpajakan.
Baca Juga
Sebagaimana pemerintah telah memperkenalkan Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau core tax administration system (CTAS) untuk menjaring wajib pajak dan mempermudah kewajiban masyarakat dalam membayar pajak.
Raksaka juga menuturkan pemerintah dapat melakukan peningkatan basis pajak hingga optimalisasi tarif pajak untuk mengamankan ruang fiskal.
Melihat tren ruang fiskal APBN dalam 10 tahun terakhir, ruang fiskal Indonesia cenderung tidak meningkat signifikan.
“Mandatory spending itu masih lumayan signifikan sehingga secara umum ruang fiskal kita sebetulnya masih sangat terbatas,” jelasnya.
Dalam paparannya tercantum, persentase ruang fiskal terhadap APBN berada di kisaran 20%. Sementara sisanya terisi oleh mandatory spending APBN.
Sebagai contoh, mandatory spending atau belanja/pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang yaitu anggaran pendidikan yang paling tidak sebesar 20% dari APBN.