Bisnis.com, JAKARTA -- Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengatakan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dalam kondisi saat ini tidak tepat karena membebani rakyat.
Presiden Partai Buruh yang juga Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan saat ini kebutuhan perumahan untuk kelas pekerja dan rakyat adalah kebutuhan primer seperti halnya kebutuhan makanan dan pakaian (sandang, pangan, papan).
Bahkan, paparnya, di dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 negara diperintahkan untuk menyiapkan perumahan sebagai hak rakyat. Di mana dalam 13 Platform Partai Buruh, jaminan perumahan adalah jaminan sosial yang harus diperjuangkan.
“Persoalannya, kondisi saat ini tidaklah tepat program Tapera dijalankan oleh pemerintah dengan memotong upah buruh dan peserta Tapera. Karena membebani buruh dan rakyat,” ujarnya melalui keterangan resmi, Kamis (30/5/2024).
Said Iqbal mengatakan ada beberapa alasan program Tapera belum tepat dijalankan saat ini. Pertama, belum ada kejelasan terkait dengan Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dalam program ini.
Jika dipaksakan, lanjutnya, hal ini bisa merugikan buruh dan peserta Tapera.
Baca Juga
“Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3%, dibayar pengusaha 0,5% dan dibayar buruh 2,5% tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK,” tegasnya.
Sekarang ini, dia mengatakan upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp3,5 juta per bulan. Bila dipotong 3% per bulan maka iurannya adalah sekitar 105.000 per bulan atau Rp1.260.000 per tahun.
Tapera merupakan Tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp12.600.000 hingga Rp25.200.000.
“Pertanyaan besarnya, apakah dalam 10 tahun kedepan ada harga rumah yang seharga Rp12,6 juta atau Rp25,2 juta dalam 20 tahun ke depan?" imbuhnya.
Sekalipun ditambahkan keuntungan usaha dari Tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah.
Alhasil, dia menilai dengan iuran sebesar 3% yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera untuk memiliki rumah.
“Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah,” ujar Said Iqbal.
Kedua, Tapera membebani buruh dan rakyat saat ini adalah, dalam lima tahun terakhir ini, upah riil buruh (daya beli buruh) turun 30%. Hal ini akibat upah tidak naik hampir 3 tahun berturut-turut dan tahun ini naik upahnya murah sekali.
Bila dipotong lagi 3% untuk Tapera, lanjutnya, tentu beban hidup buruh semakin berat. Apalagi potongan iuran untuk buruh lima kali lipat dari potongan iuran pengusaha.
Selain itu, dia menegaskan dalam UUD 1945 tanggung jawab pemerintah adalah menyiapkan dan menyediakan rumah untuk rakyat yang murah, sebagaimana program jaminan Kesehatan dan ketersediaan pangan yang murah.
Dalam program Tapera, pemerintah tidak membayar iuran sama sekali, hanya sebagai pengumpul dari iuran rakyat dan buruh. Hal ini menjadi tidak adil karena ketersediaan rumah adalah tanggung jawab negara dan menjadi hak rakyat.
"Apabila buruh disuruh bayar 2,5% dan pengusaha membayar 0,5%. Tapera menjadi tidak tepat dijalankan sekarang sepanjang tidak ada kontribusi iuran dari pemerintah sebagaimana program penerima bantuan iuran dalam program Jaminan Kesehatan," jelasnya.
Keempat, Tapera terkesan dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat khususnya dana dari buruh, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum.
"Jangan sampai korupsi baru merajalela di Tapera sebagaimana terjadi di ASABRI dan TASPEN. Dengan demikian, Tapera kurang tepat dijalankan sebelum ada pengawasan yang sangat melekat untuk tidak terjadinya korupsi," tuturnya.
Said Iqbal menyampaikan, Partai Buruh dan KSPI menolak program Tapera dijalankan saat ini karena akan semakin memberatkan kondisi ekonomi buruh, PNS, TNI, Polri dan Peserta Tapera.
“Partai Buruh dan KSPI sedang mempersiapkan aksi besar-besaran untuk menolak Tapera, Omnibus Law UU Cipta Kerja, dan program KRIS dalam Jaminan Kesehatan yang kesemuanya membebani rakyat,” ucapnya.