Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut bahwa pemerintah bakal membebaskan pungutan bea cukai etanol fuel grade yang akan digunakan sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin menjadi bioetanol.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi menyebut bahwa pungutan cukai etanol memang menjadi salah satu kendala dalam pengembangan bioetanol.
“Cukai tadi disepakati memang regulasinya sudah memungkinkan untuk cukai itu tidak perlu dibayarkan,” kata Eniya ketika ditemui di Jakarta, dikutip Kamis (30/5/2024).
Namun demikian, pembebasan cukai tersebut tidak serta merta bisa langsung diterapkan. Eniya menuturkan, masih ada perizinan terkait izin usaha bioetanol yang perlu diproses.
"Izin berusaha bioetanol untuk menjadi bahan bakar itu yang perlu disinergikan. Jadi perlu dilakukan satu perizinan baru," imbuhnya.
Dengan adanya pembebasan cukai etanol tersebut, Eniya yakin harga BBM bioetanol akan lebih kompetitif. Pasalnya, pungutan cukai etanol cukup besar.
Baca Juga
Adapun, etanol dari semua jenis dengan kadar berapa pun dikenakan pungutan cukai Rp20.000 per liter, baik produksi dalam negeri maupun impor. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2018 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol dan Konsentrat Mengandung Etil Alkohol.
Pada aturan yang sama, etanol yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan barang kena cukai (BKC) lainnya tidak dipungut cukai. Sementara itu, etanol yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan barang hasil akhir yang bukan BKC dapat dimintakan pembebasan cukai.
Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) memang mengharapkan adanya pembebasan cukai etanol. Penghapusan bea cukai pada etanol bahan baku Pertamax Green itu diharapkan dapat menurunkan harga jual di tingkat konsumen nantinya. Saat ini, Pertamina menjual produk bioetanol dengan merek Pertamax Green 95 di harga Rp13.900 per liter.
Selain cukai, persoalan feedstock atau pasokan bahan baku juga menjadi salah satu tantangan pengembangan bioetanol.
Eniya menuturkan bahwa Indonesia sebenarnya sudah memiliki 13 industri yang memproduksi etanol dengan kapasitas produksi sekitar 337.000 kiloliter (kl). Namun dari jumlah tersebut, baru sekitar 40.000 kl yang kualitasnya adalah fuel grade untuk bisa diolah menjadi bahan bakar.
"Nah, problemnya feedstock, sumber hulunya nih. Hulunya ini belum clear," katanya.
Untuk itu, dia berharap adanya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel) dapat menjadi solusi dari persoalan feedstock.
Diketahui pemerintah tengah menyiapkan 2 juta hektare lahan di Merauke, Papua Selatan untuk kebun tebu guna mencapai swasembada gula serta pengembangan bioethanol.
"Kalau ini long term jadi, mudah-mudahan nanti industrinya bisa bergulir, feedstock-nya bisa nambah," imbuh Eniya.