Bisnis.com, JAKARTA - Bagai petir di siang bolong ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan kepada Jaksa Agung mengenai indikasi penipuan atau penyimpangan (fraud) dana Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) pada 18 Maret 2024. Bagaimana membenahi LPEI?
Indikasi tersebut terkait dengan dana yang disalurkan kepada empat perusahaan ekspor. Kredit bermasalah (non performing loan/NPL) Rp2,5 triliun. Perusahaan tersebut adalah PT RII Rp1,8 triliun, PT SMS Rp216 miliar, PT SPV Rp144 miliar dan PT PRS Rp305 miliar. Perusahaan tersebut bergerak di bidang kepala sawit, batu bara, nikel dan perkapalan (Kompas, 19 Maret 2024).
LPEI dibentuk atas dasar UU Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekpor Indonesia efektif 12 Januari 2009. LPEI berfungsi untuk mendukung program ekspor nasional melalui pembiayaan ekspor nasional.
Dalam menjalankan fungsinya, LPEI mempunyai tugas untuk memberi bantuan yang diperlukan oleh pihak-pihak dalam rangka ekspor dalam bentuk pembiayaan, penjaminan dan asuransi untuk menghasilkan barang dan jasa dan/atau usaha lain yang menunjang ekspor.
LPEI juga mempunyai tugas untuk menyediakan pembiayaan bagi transaksi atau proyek yang dikategorikan tidak dapat dibiayai oleh perbankan, tetapi mempunyai prospek untuk peningkatkan ekspor nasional. LPEI pun memiliki tugas untuk membantu dalam mengatasi hambatan yang dihadapi bank atau lembaga keuangan dalam penyediaan pembiayaan bagi eksportir yang secara komersial cukup potensial dan/atau penting dalam perkembangan ekonomi Indonesia.
Bagaimana kinerja LPEI? Total aset mencapai Rp74,52 triliun dan total ekuitas Rp26,94 triliun per September 2023. Sayangnya, laba tahun berjalan “hanya” Rp94,76 miliar. Laba itu boleh dikatakan “kecil” dibandingkan dengan laba bersih bank pemerintah. Laba bersih BRI Rp60,43 triliun per Desember 2023 yang dibayangi Bank Mandiri Rp55,1 triliun, BNI Rp20,9 triliun dan BTN Rp3,5 triliun.
Baca Juga
Lantas, bagaimana seni membenahi LPEI?
Pertama, mengapa Menteri Keuangan yang melaporkan kasus itu? Lantaran, sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 2009, LPEI bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan.
Kedua, sungguh mengagetkan NPL bruto terus melesat. NPL 3,99% per 2016 masih di bawah ambang batas 5%. Namun, NPL melejit menjadi 6,81% pada 2017, 13,73% pada 2018 dan 23,39% pada 2019.
NPL terus naik menjadi 26,08% pada 2020 karena pandemi. Kemudian NPL mulai menipis menjadi 21,03% pada 2021. NPL kembali naik menjadi 26,61% pada 2022 ketika pandemi mulai mereda. Eh, NPL justru melambung menjadi 28,37% pada September 2023 (ibid).
Hal itu amat mengagetkan. Mengapa? Karena LPEI itu merupakan transformasi dari PT Bank Ekspor Indonesia yang merupakan bank pemerintah.
Artinya, LPEI sudah pasti memiliki perangkat yang komplet seperti di bidang audit, hukum, tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) dan manajemen risiko seperti bank pemerintah.
Ketiga, mengapa NPL 28,73% yang begitu tinggi itu seolah-olah dibiarkan? Padahal, NPL yang baru mendekati ambang batas 5% saja sudah bisa membuat manajemen dan pegawai bank kalang kabut.
Keempat, inilah tantangan bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan audit. Bukan hanya audit umum tetapi audit investigasi mengingat ada indikasi fraud ditambah lagi NPL setinggi gunung.
Berdasarkan pada Peraturan OJK Nomor 9/POJK.05/2022 tentang Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, OJK melakukan pengawasan langsung (on site) dan pengawasan tidak langsung (off site). Pengawasan tidak langsung dapat dilakukan melalui pelaksanaan pemantauan, penelitian, analisis dan evaluasi terhadap laporan berkala dan/atau insidentil, data pengawasan serta informasi review lainnya yang diperoleh OJK.
Kelima, sudah sepatutnya pelaksanaan pengawasan OJK tak berhenti di situ. OJK dapat pula melakukan pengawasan tingkat kesehatan LPEI secara berkala dan insidentil misalnya ketika muncul kasus seperti saat ini. Tingkat kesehatan LPEI adalah hasil penilaian kondisi LPEI yang dilakukan terhadap tata kelola perusahaan yang baik, profil risiko, rentabilitas dan permodalan.
Keenam, sesungguhnya, kasus LPEI tersebut sudah memasuki jilid II yang berarti GCG kurang berjalan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, pengawasan GCG yang meliputi keterbukaan, akuntabilitas, tanggung jawab, kemandirian dan kewajaran tetap wajib lebih ditingkatkan lagi.
Ketujuh, lebih dari itu, ekosistem pengawasan pun perlu lebih diperbaiki supaya lebih menggigit. Lebih bernas. Bagaimana kiatnya? Internal auditor sudah semestinya menjadi kepanjangan tangan OJK dalam melakukan pengawasan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, setiap bibit fraud akan terdeteksi jauh lebih dini.
Kedelapan, mengingat LPEI juga mempunyai pinjaman ke bank, maka ada pula potensi risiko bagi bank sebagai kreditur (pemberi pinjaman). Laporan Keuangan LPEI per September 2023 menunjukkan LPEI telah menerima pinjaman sindikasi dari Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), Singapura dan Commerzbank AG sebagai facility agents.
LPEI juga memiliki pinjaman bilateral seperti dari PT Bank ICBC Indonesia, PT BCA, PT Bank ANZ Indonesia, China Eximbank dan Standard Chartered Bank, Jakarta. Jangan sampai kasus LPEI membebani kreditur. Karena itu, kasus itu wajib segera diselesaikan dengan saksama.
Kesembilan, tidak berlebihan tatkala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ikut pula dalam melakukan evaluasi kinerja sekaligus meneliti dengan cermat apakah kasus itu memuat unsur pencucian uang.
Dengan aneka alternatif solusi demikian, sangat diharapkan kasus LPEI dapat diselesaikan dengan jitu. Walhasil, LPEI makin sehat.