Bisnis.com, JAKARTA - Setiap jam ada pasien yang menunda operasi karena biaya melonjak. Rumah sakit kewalahan, begitu juga dengan perusahaan asuransi, dan inflasi medis terus meledak. Biaya operasi sederhana seperti usus buntu (appendektomi) yang beberapa tahun lalu masih berada di kisaran Rp8 juta, kini di banyak rumah sakit swasta bisa mencapai Rp15 juta.
Mercer Marsh Benefits (MMB) memproyeksi biaya kesehatan global akan tumbuh hingga 11,6%. Sementara di Indonesia, inflasi medis bahkan mencapai 13,6% pascapandemi Covid-19. Kenaikan ini bukan semata terjadi dalam setahun, melainkan akibat akumulasi kenaikan harga berbagai komponen biaya, mulai dari jasa dokter, harga obat-obatan, peralatan medis, hingga biaya operasional rumah sakit yang meningkat selama beberapa tahun terakhir.
Artinya, klaim asuransi terus meningkat, premi makin mahal, sementara daya beli masyarakat stagnan. Industri asuransi kesehatan terancam tidak sustainable, dan bila runtuh, akan memicu efek sistemik baik bagi pemerintah maupun industri pelayanan kesehatan. Kondisi ini akan berdampak kepada pembiayaan klaim asuransi kesehatan, dan memicu kenaikan tarif premi.
Biaya rawat inap sebenarnya dapat ditekan secara signifikan. Dalam sejumlah kasus, biaya rawat inap yang awalnya berada di kisaran Rp 12,5 juta dapat diturunkan menjadi sekitar Rp6,5 juta melalui pendekatan penanganan yang lebih efisien, penggunaan sumber daya medis yang terukur dan penghindaran tindakan yang tidak perlu. Apakah biaya kesehatan ditentukan oleh tindakan medis yang dilakukan satu per satu (seperti operasi, obat, rawat inap)? Atau, apakah semuanya dibungkus dalam satu paket biaya? Di sinilah iDRG (Indonesian Diagnosis Related Groups) memainkan perannya sebagai sistem klasifikasi kasus penyakit yang membagi pasien berdasarkan diagnosis, jenis tindakan, dan kompleksitas kasus.
Masing-masing kategori iDRG memiliki tarif standar yang mencerminkan rata-rata biaya untuk perawatan tertentu. Jadi, rumah sakit akan dibayar berdasarkan kelompok diagnosis pasien, bukan item per item pelayanan yang diberikan. Sistem ini mirip dengan yang digunakan di banyak negara maju untuk pembiayaan berbasis layanan kesehatan publik, dan kini mulai dilirik sebagai solusi untuk pembenahan sistem asuransi kesehatan di Indonesia.
Pengalaman negara lain memperkuat optimisme tersebut. Thailand mencatat penurunan biaya rawat inap hingga 12% setelah menerapkan DRG. Korea Selatan melaporkan penurunan lama rawat inap rata-rata 0,8 hari. Di Australia, biaya prosedur standar seperti appendektomi menurun 15%—18%. Jika diterapkan di Indonesia, inflasi medis berpotensi turun ke kisaran 9%—10% dalam 3 tahun. Potensi penghematan diperkirakan mencapai Rp10 triliun hingga Rp15 triliun per tahun, dari total belanja klaim asuransi kesehatan nasional yang kini menembus Rp100 triliun berdasarkan data dari AAJI dan AAUI tahun 2023—2024. Namun, angka ini bersifat proyeksi industri, bukan data resmi pemerintah.
Baca Juga
Indonesia masih menggunakan INA-CBGs (Indonesia Case Based Groups), yaitu sistem pengelompokan penyakit berdasarkan kasus yang digunakan untuk menentukan tarif layanan kesehatan. Sistem ini memang menghentikan pola fee-for-service, di mana setiap tindakan medis, kunjungan, atau prosedur yang dilakukan diberi harga dan dibayar secara terpisah. Namun, INA-CBGs memiliki sejumlah kelemahan yaitu: tidak cukup granular, di mana dua pasien dengan diagnosis sama tetapi kondisi berbeda dapat dibayar dengan tarif yang sama; lambat beradaptasi; teknologi medis baru sering tidak tercakup; tidak mendukung outcome-based payment, di mana pembayaran seringkali berfokus pada jumlah layanan atau input yang diberikan, dan bukan pada hasil yang sebenarnya dicapai; serta masih eksklusif untuk BPJS, sehingga sulit diakses asuransi swasta.
Sebaliknya, iDRG lebih modern karena mempertimbangkan diagnosis, prosedur, komorbiditas, tingkat keparahan, hingga intensitas penggunaan sumber daya medis. Tarif menjadi lebih adil, prediktif, dan siap mendukung outcome-based payment. Namun, hingga kini, iDRG seolah ‘dikunci’ hanya untuk BPJS Kesehatan. Sedangkan, jika serius ingin menurunkan inflasi medis, asuransi swasta harus ikut dalam sistem yang sama. Asuransi swasta juga menanggung jutaan peserta. Jika iDRG hanya dipakai BPJS, maka dual tarif akan terus terjadi, inflasi medis tetap sulit ditekan, dan premi asuransi makin melambung.
Untuk menjawab tantangan implementasi iDRG dibutuhkan integrasi data yang kuat, termasuk dengan sistem SatuSehat milik Kemenkes, Peningkatan kapasitas SDM di rumah sakit dan perusahaan asuransi agar memahami cara kerja sistem iDRG; serta kemitraan strategis antara pemerintah, BPJS Kesehatan, industri asuransi swasta, dan asosiasi rumah sakit. Jika tantangan ini bisa diatasi, iDRG dapat menjadi tonggak penting dalam menciptakan ekosistem pembiayaan kesehatan yang lebih sehat, baik untuk pasien, rumah sakit, maupun industri asuransi.
iDRG juga dapat menjadi alat kendali biaya yang sangat efektif untuk penyakit kronis. Paket biaya dirancang berdasarkan tingkat keparahan, sehingga dapat meminimalkan overtreatment dan membuka jalan ke pembiayaan berbasis outcome. Pengalaman di Korea Selatan menunjukkan, penerapan DRG menurunkan biaya pengobatan diabetes 10%—12% serta mengurangi lama rawat inap pasien gagal ginjal rata-rata 1 hari. Jika Indonesia berhasil menurunkan klaim penyakit kronis hanya 10%, maka potensi penghematannya dapat mencapai Rp5 triliun—Rp 8 triliun per tahun.
Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) 1366/2024 mewajibkan standar tarif berbasis paket, serta mendorong integrasi ke sistem SatuSehat. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan perlunya standar biaya layanan kesehatan yang bisa diterapkan merata, sehingga pemerintah dan asuransi swasta dapat memproyeksikan biaya kesehatan ke depan. OJK juga mendorong industri asuransi kesehatan memiliki model prediksi klaim berbasis data, juga standar klaim yang sama di rumah sakit, agar industri asuransi mau menghitung risiko dengan benar.
Pelaksanaan KMK 1366/2024 dan iDRG harus dijalankan serempak agar rumah sakit tidak menjalankan dual tarif. BPJS Kesehatan tidak dapat sendirian menyelamatkan sistem kesehatan nasional. Saatnya Kementerian Kesehatan dan OJK membuka akses iDRG kepada asuransi swasta. Karena pada akhirnya, kita hanya punya dua pilihan: iDRG atau inflasi medis meledak. Dengan demikian, menunda berarti membayar lebih mahal di kemudian hari.