Bisnis.com, JAKARTA- Di tengah susutnya kontribusi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), pemerintah mengambil langkah larangan dan pembatasan (Lartas) impor border untuk sejumlah komoditas industri. Keputusan tersebut menuai pro kontra dari kalangan pelaku industri.
Aturan yang tertuang dalam Permendag 36/2023 jo. 3/2024 itu telah berlaku per 10 Maret 2024 dan diikuti aturan teknisnya melalui Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) terkait Pertimbangan Teknis (Pertek) sebagai syarat importasi ke depannya.
Pemerintah bertujuan menjaga daya saing industri lokal melalui beleid tersebut dengan cara mendorong subtitusi impor dan akselerasi investasi industri yang belum tersedia di dalam negeri. Namun, dalam penerapannya, Lartas impor bablas menahan gerak impor bahan baku/penolong yang menjadi tumpuan industri.
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef Andry Satrio Nugroho menilai pemerintah perlu mengatur ulang Lartas agar lebih spesifik menahan impor konsumsi dan memudahkan impor bahan baku yang belum tersedia di domestik.
"Jangan sampai lartas malah mengurangi atau menghalangi bahan baku itu masuk ke dalam negeri. kalau industri sulit mendapatkan bahan baku, at the end industri tidak mau berproduksi lagi," kata Andry kepada Bisnis, dikutip Kamis (18/4/2024).
Artinya, bukan mustahil jika kinerja industri menurun lantaran kesulitan mendapatkan bahan baku dan barang modal untuk produksi. Menurut Andry, ancaman ini yang harus segera diantisipasi pemerintah.
Baca Juga
Apalagi, catatan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kontribusi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih dalam tren susut selama satu dekade terakhir. Meskipun, perannya masih paling besar mengerek PDB nasional.
Pada tahun 2013, kontribusi industri pengolahan masih mencapai 23,6% atau senilai Rp2.152,6 triliun terhadap total PDB yang mencapai Rp9.084,0 triliun atas dasar harga berlaku.
Kontribusinya kian menyusut hingga anjlok ke level 19,70% pada 2019, tumbuh 19,88% pada 2020, dan kembali susut ke level 19,25% pada 2021 seiring dengan tekanan berat pandemi.
Pascapandemi, porsi manufaktur semakin tertekan ke angka 18,34% pada 2022 dan mulai pulih ke level 18,67% dari total nilai PDB mencapai Rp20.892,4 triliun sepanjang 2023.
Untuk memulihkan kembali kontribusi industri pengolahan terhadap PDB, maka lartas impor harus dispesifikasikan antara barang konsumsi dan bahan baku industri.
"Kalau Lartasnya hanya impor tok ya siap-siap saja impornya pasti turun, tetapi kinerja industri juga pasti akan turun, itu yang tidak kita inginkan," tuturnya.
Di sisi lain, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendorong pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan lartas yang diberlakukan agar tidak merugikan industri manufaktur nasional.
Pasalnya, nyaris seluruh subsektor manufaktur terkena dampak lartas impor border. Bahkan, dia memperkirakan cakupan restriksi impor beleid tersebut mencapai 70% dari total HS barang yang diperdagangkan.
"Banyak industri yang menyatakan terancam akan berhenti produksi bila tidak ada penyesuaian pelaksanaan lebih lanjut terhadap kebijakan tersebut," ujar Ketua Umum Apindo Shinta.