Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) melaporkan 3 perjanjian baru yang terjalin antara Indonesia dan Singapura, termasuk mengambil alih kembali ruang udara Natuna dan Kepri ke tangan RI.
Menteri Koordinator Marves, Luhut Pandjaitan mengatakan kesepakatan pengalihan ruang udara atau Re-alignment Flight Information Region (FIR) merupakan upaya pemerintah mengelola ruang udara yang aman, efektif, sesuai kepentingan nasional dan memenuhi standar pelayanan jasa penerbangan sipil internasional.
"Kita bisa lihat, mulai hari ini manajemen penerbangan sipil di ruang udara Indonesia di atas Natuna dan Kepri beralih dari FIR Singapura menjadi FIR Indonesia. Ada perwakilan Kemenhub, TNI, dan AirNav yang kita tempatkan di Changi," kata Luhut dalam keterangannya, Jumat (22/3/2024).
Dalam hal ini, Luhut menerangkan pihak-pihak tersebut berjaga 24 jam untuk memantau pesawat dari dan ke Singapura agar tidak melanggar kedaulatan ruang udara Indonesia.
Tidak hanya itu, dia memastikan bahwa pengalihan FIR akan memberikan dampak positif secara ekonomi bagi penerimaan negara.
"Kementerian Perhubungan akan mengatur charge jasa layanan penerbangan yang kompetitif agar industri penerbangan nasional dapat tumbuh dan Indonesia terus atraktif bagi investasi sektor penerbangan sipil," tuturnya.
Baca Juga
Perjanjian kedua yang disepakati yaitu terkait kerja sama pertahanan (Defence Cooperation Agreement (DCA) Indonesia-Singapura yang akan menfasilitasi kerja sama militer yang saling menguntungkan dengan tetap menghormati integritas kedaulatan kedua negara.
"Kerangka kerja sama pertahanan ini juga akan lebih memfasilitasi kolaborasi militer Indonesia dan Singapura. Ruang lingkup kerja samanya sangat luas. Ada 8 area kerja sama yang diatur dan semuanya disusun dalam kerangka untuk memberikan keuntungan bagi kedua Negara," terangnya.
Perjanjian ketiga RI-Singapura yaitu terkait dengan perjanjian ektradisi atau Extradition Treaty (ET). Luhut menyampaikan kerja sama ini mencakup berbagai langkah telah disiapkan untuk memastikan implementasi ekstradisi buronan berlangsung efektif.
Adapun, kerangka perjanjian yang tertuang dalam perjanjian ekstradisi akan mengakomodasi 31 jenis tindak pidana serta bentuk kejahatan lain yang tidak disebutkan secara lugas di dalamnya.
Artinya, kerja sama yang dibangun akan bersifat adaptif yang memungkinkan perjanjian ini mengikuti bentuk dan modus kejahatan yang terus berkembang. Selain itu pemberlakuan masa retroaktif hingga 18 tahun (dari semula hanya 15 tahun) memungkinkan penyelarasan dengan ketentuan hukum pidana nasional.
“Perjanjian ekstradisi juga sudah mulai bisa kita gunakan untuk mengejar buronan-buronan yang lari ke Singapura. Kita tidak akan memberi ruang buat mereka, kita dorong perjanjian ini bisa sangat adaptif dengan perubahan apalagi modus kejahatan saat ini kan terus berkembang," jelasnya.