Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom melihat implementasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% memang memberikan dampak terhadap penerimaan negara, namun terdapat ancaman yang mengintai daya saing industri di dalam negeri.
Peneliti Indef Bidang Industri, Perdagangan, dan Investasi Ahmad Heri Firdaus menyampaikan industri harus menghadapi lonjakan harga bahan baku seiring dengan meningkatnya PPN sebesar 1%, dari 11% menjadi 12%.
Alhasil, harga dari suatu barang yang dihasilkan akan ikut terkerek naik dan menurunkan daya saing Indonesia.
“Kenaikan PPN ini akan menyebabkan semakin menurunnya daya saing, biaya produksi semakin meningkat,” ujarnya dalam Diskusi Publik Indef bertajuk ‘PPN Naik, Beban Rakyat Naik’, Rabu (20/3/2024).
Pasalnya, tarif PPN di Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di antara negara-negara di Asia Tenggara.
Melansir dari DataIndonesia.id, berdasarkan data PricewaterhouseCoopers (PwC), tarif PPN Indonesia menjadi yang tertinggi kedua di Asia Tenggara saat ini yakni 11%. Satu peringkat di bawah Filipina yang tercatat sebesar 12%.
Baca Juga
Sementara negara tetangga Singapura menerapkan pajak serupa PPN sebesar 9%. Lebih rendah lagi, Thailand justru menurunkan tarif PPN dari 10% menjadi 7% hingga 30 September 2024.
Pada kesempatan yang sama, Peneliti Center of Macroeconomics and Finance Indef Abdul Manap Pulungan menambahkan dengan adanya perbedaan tarif di kawasan Asean ini berpotensi mendorong terjadinya impor besar-besaran.
“Bisa saja berkontribusi terhadap semakin tingginya pembelian barang impor dari luar negeri, karena untuk mendapatkan harga yang lebih murah,” tuturnya.
Indef menyoroti meski pemerintah membidik peningkatan penerimaan negara secara agregat, perlu adanya perhitungan terkait untung rugi perekonomian dalam jangka pendek dan jangka panjang ketika PPN menjadi 12%.
Mampu Serap Rp73,76 Triliun
Terpisah, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono memperkirakan dari kenaikan PPN sebesar 1% menjadi 12% pada 2025, mampu mengerek penerimaan negara setidaknya senilai Rp73,76 triliun.
Nilai tersebut didapat dari asumsi berdasarkan target PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) dalam APBN 2024 yang senilai Rp811,36 triliun.
Dengan tarif PPN 11% yang saat ini berlaku, artinya Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN tersebut senilai Rp7.376 triliun (Rp7.376 triliun x 11% = Rp811,36 triliun).
“Jika pada 2025 tarif PPN naik menjadi 12% dan DPP diasumsikan tetap, PPN-nya akan mencapai Rp885,12 triliiun. Kenaikannya senilai Rp73,76 triliun,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (13/3/2024).
Pada 2022 lalu, ketika PPN naik dari 10% menjadi 11%, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperoleh tambahan penerimaan dari pajak konsumsi sebanyak Rp60,76 triliun.
Tolak Berburu di Kebun Binatang
Lebih lanjut, Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus meminta pemerintah agar tak hanya berburu pajak ‘di kebun binatang’. Perlu adanya perluasan bais pajak yang mampu meningkatkan potensi penrimaan perpajakan. Termasuk ekstensifikasi perpajakan, misalnya juga cukai.
“Naikkan tarif PPN itu sudah jelas, berburu di kebun binatang pasti dapat, berburu di kebun belantara lebih sulit tapi risiko minimal ke perekonomian,” jelasnya.
Meski demikian, pemerintah pun masih menunggu adanya pemerintahan baru untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, termasuk di dalamnya kebijakan tarif PPN yang akan berdampak pada target penerimaan.