Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kebijakan Harga Gas Murah Bersiap Dicabut, Manufaktur Bisa Semaput

Harga gas murah yang dipatok US$6 per MMbtu bagian program Harga Gas Bumi Tertentu atau HGBT berhasil memulihkan kinerja industri.
Ilustrasi gas industri/JIBI
Ilustrasi gas industri/JIBI

Bisnis.com, JAKARTA- Kekhawatiran ancaman deindustrialisasi menguat menjelang berakhirnya kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) atau harga gas murah untuk industri akhir tahun ini. 

Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPBG) Yustinus Gunawan mengatakan harga gas murah yang dipatok US$6 per MMbtu berhasil memulihkan kinerja industri yang sempat terperosok beberapa tahunt terakhir.

"Bila HGBT setop maka bisa terjadi deindustrilisasi, seperti hal nya sekitar 10 tahun yang lalu, harga gas bumi naik sangat tinggi sehingga deindustrilasasi terus terjadi," kata Yustinus kepada Bisnis, Kamis (7/3/2024). 

Kala itu, dia menuturkan, Foreign Direct Investment (FDI) nasional amblas dikarenakan kinerja manufaktur yang lesu sehingga investasi asing lebih memiliki ke negara-negara Asean lainnya. 

Maka, resiliensi indsutri pengolahan manufaktur mesti dipertahankan, salah satunya dengan kelanjutan HGBT, Yustinus menyebut jika program tersebut berhenti, maka industri pengolahan akan runtuh. 

"Industri manufakur adalah fondasi ekonomi negara, kebijakan HGBT yang diregulasi pada tahun 2016 dan dilaksanakan pada tahun 2020 sebelum dampak pendemi mulai menghantam justru menjadi pembuktian atas keakurasian pengambilan keputusan oleh Pemerintah," tuturnya.

Hal ini pun dibuktikan dengan terselamatkannya industri manufaktur yang tercermin dalam Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur yang selama 29 bulan terakhir mampu melewati angka 50 alias ekspansif.

Faktanya, penerapan HGBT masih terhambat faktor eksternal di luar industri pengguna, di antaranya yaitu pembatalan penghentian kontrak gas bumi dari Sumatera ke Singapura, menurunnya produksi gas bumi dikatakan karena menuanya sumur2 produksi.

"Penurunan volume juga disebabkan gangguan dan/atau masa perawatan, padahal sewajarnya faktor-faktor ini sudah diperhitungkan sehingga AGIT [alokasi gas industri tertentu] adalah realistis / applicable dan dapat dipertanggungjawabkan," terangnya.  

Sejak Peraturan Presiden No. 40/2016 dilaksanakan oleh Keputusan Menteri ESDM No. 89/2020, kemudian direvisi dengan Perpres No. 121/2020 yang dilaksanakan Kepmen No. 91/2023, AGIT PT Perusahaan Gas Negara (PGN) selalu lebih kecil dari AGIT Kepmen.

Alhasil, perusahaan industri terpaksa membeli kekurangan di luar AGIT ddengan harga tinggi, semata-mata untuk mememuhi komitmen industri memasok pelanggan domestik dan luar negeri. 

"Ironis, bahwa di satu sisi Pemerintah berkomitmen menerapkan Perpres dan Kepmen ESDM, di antaranya dengan kecukupan dan bertambahnya produksi gas, namun pelaksanaannya tidak optimal," terangnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper