Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sempat menyinggung tentang rasio perpajakan atau tax ratio Indonesia masih dalam kondisi yang rendah pada saat acara Mandiri Investment Forum 2024, Jakarta, Selasa (5/3/2024).
Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa rasio perpajakan Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio masih relatif rendah. Dia membandingkan dengan tax ratio di negara-negara anggota Asean, G20, bahkan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
“Indonesia rasio perpajakannya masih rendah kalau kita membandingkannya dengan negara Asean, OECD, negara G20,” katanya dalam acara Mandiri Investment Forum 2024, Selasa (5/3/2024).
Sementara itu, Calon Presiden (Capres) Nomor Urut 02 Prabowo Subianto bakal memperluas wajib pajak agar rasio pajak atau tax ratio Indonesia dapat naik menjadi 16% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Prabowo menjelaskan bahwa saat ini tax ratio Indonesia hanya di angka 10% terhadap PDB. Angka itu, menurut Prabowo, lebih kecil jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Kamboja yang berada di angka 16-18% terhadap PDB.
"Rasio pajak Indonesia bisa jauh lebih baik, sekarang tax ratio Indonesia sekitar 10%, tetapi tetangga kita Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja sekitar 16-18%, masih ada ruang untuk perbaikan," tutur Prabowo di forum yang sama.
Baca Juga
Apa Itu Tax Ratio?
Dikutip dari pajak.go.id, Rabu (6/3/2024), tax ratio atau rasio perpajakan diartikan sebagai formula yang digunakan untuk mengukur kinerja perpajakan dengan membandingkan antara penerimaan perpajakan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) dalam kurun waktu tertentu, biasanya satu tahun.
Sederhananya, PDB adalah nilai total keseluruhan dari barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara dalam kurun waktu satu tahun.
Tax ratio memiliki dua model, yaitu:
- Tax ratio dalam arti luas, mencakup penerimaan perpajakan, termasuk penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) serta Mineral dan Batubara (Minerba).
- Tax ratio dalam arti sempit, hanya mengukur perpajakan di pusat maupun bea dan cukai.
Data Tax Ratio Indonesia Terkini
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dikutip Rabu (6/3/2024), tax ratio atau rasio perpajakan Indonesia pada 2023 menyentuh angka 10,21% terhadap PDB atau Rp2.155,4 triliun.
Realisasi tax ratio Indonesia pada 2023 tercatat mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya atau 2022 (year-on-year/yoy), yakni 10,39% atau Rp2.034,5 triliun.
Capaian tax ratio Indonesia pada 2022 ternyata tertinggi selama periode kedua pemerintahan Presiden Joko Wododo (Jokowi). Pada 2019, rasio perpajakan RI tercatat di angka 9,77% atau Rp1.546,1 triliun atau naik 1,8% jika dibandingkan dengan periode 2018 (yoy).
Namun, tax ratio Indonesia anjlok atau turun drastis ke level 8,33% atau Rp1.282,1 triliun pada 2020. Penurunan tax ratio hingga 16,9% (yoy) tersebut terjadi lantaran efek dari pandemi Covid-19 ke perekonomian.
Kinerja tax ratio kembali menanjak ke level 9,12% atau Rp1.547,8 triliun pada 2021. Rasio perpajakan mengalami kenaikan hingga 20,4% (yoy) jika dibandingkan dengan periode puncak pandemi atau 2020.
Mengacu pada data Kemenkeu selama 5 tahun terakhir, capaian tax ratio mencapai level tertinggi pada 2022, yaitu 10,39%. Adapun, kinerja perpajakan pada 2022 termasuk Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang berlangsung di tahun yang sama.
Dampak Tax Ratio Terhadap Perekonomian
Lantas, apa dampak tax ratio terhadap perekonomian?
Tax ratio yang tinggi dapat mencukupi sumber pendanaan yang akan digunakanuntuk membangun serta meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dengan mengurangi ketergantungan pendanaan yang bersumber dari negara lain, seperti utang.
Selain itu, tax ratio yang tinggi dapat meningkatkan penerimaan suatu negara sehingga belanja negara menjadi lebih besar, dampaknya jumlah PDB suatu negara meningkat dan perekonomian pun tumbuh menjadi besar.
Sementara itu, dampak dari tax ratio yang rendah dapat memperlambat pembangunan dalam negeri, termasuk program-program publik di sektor pendidikan, kesehatan, dan sosial karena sumber pendanaan yang tidak mencukupi.
Bahkan, dapat menghambat pemerintah dalam membangun perekonomian, seperti membuka lapangan pekerjaan yang luas dan pembangunan jangka panjang. (Ahmadi Yahya)