Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN telah memegang indikasi kuota awal kapasitas pasang pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jisman P. Hutajulu mengatakan, kementeriannya tengah mengkaji keandalan sistem dan subsitem PLN menyusul potensi masuknya daya listrik intermiten dari PLTS atap.
“Indikasi angkanya sudah ada kita mengetahui bahwa keandalan sistem ini kalau dimasukan dengan sifatnya intermiten ada juga bayu, angin, kemudian PLTS juga kita pisahkan ground mounted dan atap,” kata Jisman saat sosalisasi Permen PLTS Atap di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (5/3/2024).
Selepas beleid revisi PLTS atap diteken akhir Januari 2024 lalu, pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik (IUPTLU) bersama dengan Kementerian ESDM mesti merumuskan kuota paling lambat 3 bulan sejak peraturan menteri (Permen) anyar itu diundangkan.
Aturan anyar soal PLTS atap itu tertuang dalam Permen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum.
Jisman mengatakan, kementeriannya masih mengkaji ihwal kemungkinan gabungan atau sebagian daya setrum dari sejumlah pembangkit energi baru terbarukan (EBT) tersebut.
Baca Juga
Dengan demikian, kata dia, isu soal intermiten kelistrikan bisa diatasi nantinya. Di sisi lain, dia meminta PLN untuk dapat meningkatkan fleksibilitas sistem dan subsistem selepas adopsi besar-besaran PLTS atap nantinya.
“Atas perintah Pak Menteri juga kepada PLN baik itu menggunakan smart grid atau membangun pembangkit-pembangkit yang sifatnya fast response seperti PLTA dengan dam,” kata dia.
Adapun, Kementerian ESDM mencatat realisasi kapasitas pasang pembangkit listrik PLTS atap baru mencapai 140 megawatt (MW) per Desember 2023.
Di sisi lain, Kementerian ESDM menargetkan kuota PLTS atap itu dapat mengejar ketertinggalan pemasangan kapasitas pembangkit listrik surya yang dipatok di level 3,6 gigawatt (GW) sampai akhir 2025 mendatang.
Sebelumnya, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyayangkan revisi peraturan menteri terkait pemanfaatan PLTS atap cenderung berpihak pada kepentingan PLN.
Dalam peraturan baru ini, skema net-metering dihapuskan sehingga kelebihan energi listrik atau ekspor tenaga listrik dari pengguna ke PLN tidak dapat dihitung sebagai bagian pengurang tagihan listrik.
“Net-metering sebenarnya sebuah insentif bagi pelanggan rumah tangga untuk menggunakan PLTS atap. Dengan tarif listrik PLN yang dikendalikan, net-metering membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap yang dipasang pada kapasitas minimum, sebesar 2-3 kWp untuk konsumen kategori R1,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa lewat siaran pers, Jumat (23/2/2024).
Tanpa net-metering, kata Fabby, biaya investasi per satuan kilowatt-peak bakal menjadi tinggi. Konsekuensinya, keekonomian sistem PLTS atap khususnya pada sektor rumah tangga dan bisnis kecil menjadi tidak menguntungkan.
“Dan biaya baterai yang masih relatif mahal, kapasitas minimum ini tidak dapat dipenuhi sehingga biaya investasi per satuan kilowatt-peak pun menjadi lebih tinggi. Inilah yang akan menurunkan keekonomian sistem PLTS atap,” kata Fabby.