Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan realisasi kapasitas pasang pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap baru mencapai 140 megawatt (MW) per Desember 2023.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan (Dirjen Gatrik) Kementerian ESDM Jisman P. Hutajulu mengatakan, realisasi pemasangan PLTS atap itu relatif rendah.
“Capaian pengembangan PLTS atap hingga Desember 2023 baru mencapai 140 MW sehingga perlu dilakukan percepatan pengembangan PLTS atap,” kata Jisman saat membuka Sosialisasi Permen ESDM No 2 Tahun 2024 di Kementerian ESDM, Selasa (5/3/2024).
Jisman berharap revisi Peraturan Menteri ESDM terkait PLTS atap yang anyar nantinya dapat meningkatkan kapasitas terpasang saat ini.
Adapun, perubahan aturan PLTS atap diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2024 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU). Regulasi tersebut menggantikan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021.
Penyesuaian kebijakan yang diakomodasi Permen itu meliputi penghapusan ketentuan mengenai batasan kapasitas, ekspor-impor energi listrik, dan biaya kapasitas (capacity charge), serta penambahan ketentuan kuota pengembangan PLTS atap.
Baca Juga
Kementerian ESDM memperkirakan program PLTS atap dapat mengerek produksi modul surya dalam negeri. Dengan target 1 gigawatt (GW) PLTS atap yang terhubung jaringan PLN dan 0,5 GW dari non-PLN setiap tahun dan memakai asumsi kapasitas 1 modul surya 450 Wp, maka diperlukan produksi sekitar 3,3 juta panel surya.
“Hal ini akan mendorong tumbuhnya industri modul surya di Indonesia. Di sisi hulu kita punya pasir silika yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung industri solar cell,” kata Jisman.
Dengan demikian, dia mengatakan, program PLTS atap yang masif mendatang dapat mendukung rencana pembangunaan industri hulu solar cell yang direncanakan di Jawa Tengah, Pulau Batam dan Pulau Rempang.
Sebelumnya, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyayangkan revisi peraturan menteri terkait pemanfaatan PLTS atap cenderung berpihak pada kepentingan PLN.
Dalam peraturan baru ini, skema net-metering dihapuskan sehingga kelebihan energi listrik atau ekspor tenaga listrik dari pengguna ke PLN tidak dapat dihitung sebagai bagian pengurang tagihan listrik.
“Net-metering sebenarnya sebuah insentif bagi pelanggan rumah tangga untuk menggunakan PLTS atap. Dengan tarif listrik PLN yang dikendalikan, net-metering membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap yang dipasang pada kapasitas minimum, sebesar 2-3 kWp untuk konsumen kategori R1,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa lewat siaran pers, Jumat (23/2/2024).
Tanpa net-metering, kata Fabby, biaya investasi per satuan kilowatt-peak bakal menjadi tinggi. Konsekuensinya, keekonomian sistem PLTS atap khususnya pada sektor rumah tangga dan bisnis kecil menjadi tidak menguntungkan.
“Dan biaya baterai yang masih relatif mahal, kapasitas minimum ini tidak dapat dipenuhi sehingga biaya investasi per satuan kilowatt-peak pun menjadi lebih tinggi. Inilah yang akan menurunkan keekonomian sistem PLTS atap,” kata Fabby.
Saat ini, Kementerian ESDM bersama dengan PT PLN (Persero) tengah merumuskan kuota pengembangan sistem PLTS atap untuk periode 2024 sampai dengan 2028.
Selepas beleid revisi PLTS atap diteken akhir Januari lalu, pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik (IUPTLU) bersama dengan Kementerian ESDM mesti merumuskan kuota paling lambat 3 bulan sejak peraturan menteri (Permen) anyar itu diundangkan.