Bisnis.com, JAKARTA - Setelah membukukan surplus neraca perdagangan sebesar US$36,93 miliar pada 2023, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menurunkan target batas bawahnya di 2024.
Pemerintah pada 2023 mematok surplus neraca dagang di kisaran US$38,3 miliar hingga US$38,5 miliar. Sementara, di 2024 neraca dagang Indonesia ditargetkan surplus sebesar US$31,6 miliar hingga US$53,4 miliar.
Meski target batas bawah sedikit lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Jerry Sambuaga menilai, target surplus neraca dagang ini sangat rasional, mengingat surplus neraca dagang di 2023 tidak mencapai target yang dipatok pemerintah.
Pertimbangan lainnya, yakni perkiraan sejumlah lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang menyebut ekonomi global melambat tahun ini.
“Saya pikir sangat rasional kita mematok angka tersebut dengan asumsi bahwa kita mencapai angka lebih tinggi dari 2023,” kata Jerry usai menghadiri rapat kerja Kemendag 2024 di Semarang, Jawa Tengah, Rabu (21/2/2024).
Pemerintah juga menurunkan target batas bawah surplus neraca dagang di 2025. Pemerintah mematok target surplus neraca dagang sebesar US$21,6 miliar hingga US$54,5 miliar dengan nilai ekspor nonmigas di kisaran US$258,7 miliar hingga US$265,2 miliar.
Baca Juga
Transformasi Perdagangan
Plt. Sekretaris Jenderal Kemendag Suhanto menyampaikan, pihaknya akan merealisasikan penguatan fondasi transformasi perdagangan dengan tiga agenda, atau yang dikenal sebagai Tri Karsa Transformasi Perdagangan untuk mencapai target surplus neraca perdagangan di 2024.
Tiga agenda ini terdiri dari Transformasi Struktural, Integrasi Kewilayahan, dan Penerapan Tata Kelola Perdagangan yang baik dan Peningkatan Sumber Daya Manusia.
“Dalam menerjemahkan Tri Karsa Transformasi Perdagangan, Kementerian Perdagangan mengusung Dasa Mandala Kebijakan Perdagangan,” kata Suhanto dalam penutupan raker Kemendag 2024.
Dasa Mandala Kebijakan Perdagangan ini mencakup 10 poi, di antaranya yaitu hilirisasi dan transformasi struktur ekspor Indonesia dari berbasis sumber daya alam menjadi berbasis manufaktur berteknologi tinggi dan menengah serta bernilai tambah tinggi, transformasi struktur konsumsi berbasis penguatan potensi pasar dalam negeri.
Selanjutnya, penguatan pondasi pertumbuhan ekonomi daerah dengan perdagangan antar wilayah, penguatan supply chain dan logistik nasional, serta transformasi sistem perlindungan konsumen dan pemberdayaan konsumen.
Lalu, integrasi sistem pelayanan perdagangan berbasis elektronik, digitalisasi dan otomatisasi pelayanan sumber daya manusia di Kemendag, penerapan pengawasan yang optimal dan efektif, transformasi sumber daya manusia perdagangan yang kreatif dan kompetitif, serta transformasi sumber daya manusia Kemendag yang agile dan berakhlak.
Target Realistis
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM UI) menilai target yang dipatok pemerintah cukup realistis untuk dicapai, melihat range yang cukup besar yakni dikisaran US$31,6 miliar hingga US$53,4 miliar pada 2024.
“Apakah realistis? Nampaknya realistis dengan margin sebesar ini,” kata Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky.
Riefky menambahkan, pemerintah perlu menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah. Dengan begitu, nilai impor nasional tidak meningkat drastis.
“Ini mungkin kebijakan yang paling realistis untuk menjaga nilai impor tidak membeludak,” pungkasnya.
Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti menyebut, target tersebut dapat tercapai apabila terjadi windfall pada sejumlah komoditas unggulan Indonesia seperti minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).
“Seperti Indonesia bisa surplus karena ada price booming di komoditas sawit sehingga nilai ekspor kita meningkat,” ungkap Esther.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menyatakan target tersebut terlalu optimistis.
Alih-alih mematok target di kisaran US$31,6 miliar hingga US$53,4 miliar, menurutnya angka yang paling realistis yakni pada kisaran US$25 miliar hingga US$29 miliar di 2024 dan US$16 miliar hingga US$20 miliar di 2025.
Pasalnya, kinerja ekspor komoditas dan olahan primer baik crude palm oil (CPO), batu bara, hingga olahan nikel diproyeksi lebih rendah tahun ini.
“Faktor koreksi harga karena rendahnya permintaan dari negara mitra dagang utama menjadi kendala ekspor,” ungkapnya.
Sementara, lanjut Bhima, impor untuk kebutuhan bahan baku industri tahun ini rebound disertai meningkatnya permintaan impor untuk konsumsi domestik.
Sejumlah pelaku usaha mengungkapkan, tercapainya surplus neraca dagang di 2024 dipengaruhi oleh sejumlah faktor, baik dari dalam dan luar negeri.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menyampaikan, tercapai atau tidaknya target tersebut sangat tergantung pada regulasi pemerintah dalam mendukung dan menstimulasi ekspor.
“Ini karena dalam kondisi business as usual dengan outlook ekonomi global dan nasional yang ada saat ini pun, sudah sangat sulit untuk memastikan bahwa kita tetap memiliki surplus perdagangan,” jelas Shinta.
Shinta juga meminta pemerintah untuk mempermudah ekspor atau meningkatkan fasilitas ekspor, pemberdayaan eksportir nasional, memfasilitasi atau mempermudah pemenuhan kebutuhan bahan baku/penolong untuk industri berorientasi ekspor, serta meningkatkan arus modal/pembiayaan kepada industri dan sektor berorientasi ekspor.
Di sisi impor, pengusaha mendorong pemerintah untuk memperketat pengawasan terhadap impor ilegal, penggunaan instrumen trade remedies yang lebih proaktif, mempercepat subtitusi bbm, serta lebih serius meningkatkan produktivitas dan kualitas sektor pangan/agrikultur nasional sehingga mengurangi beban penciptaan surplus perdagangan dari sisi impor.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia, Sarman Simanjorang, menilai pencapaian target surplus perdagangan tergantung pada kondisi geopolitik. Menurutnya, semakin cepat masalah perang di Rusia-Ukraina hingga Hamas-Israel selesai, pangsa ekspor akan semakin cepat kembali bergairah.
“Kalau kita lihat seperti saat ini pasti akan mengganggu [target neraca perdagangan Indonesia],” ujarnya.
Guna mencapai target tersebut, Sarman mengharapkan adanya kerja sama antara pelaku usaha dengan pemerintah melalui atase perdagangan untuk melebarkan pangsa ekspor ke negara-negara yang belum maksimal seperti Amerika Latin dan Afrika.