Bisnis.com, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah untuk menekan laju importasi produk ilegal melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36/2023 berpotensi memicu kelangkaan bahan baku industri.
Beleid yang mengatur tata kelola impor dengan mekanisme larangan terbatas (lartas) border itu belum tepat sasaran dan dapat menganggu rantai pasok produksi di sejumlah industri seperti otomotif, pertambangan, elektronika hingga makanan dan minuman.
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kadin Indonesia, Juan Permata Adoe mengatakan gangguan pada rantai pasok bahan baku ini dapat memengaruhi kinerja ekspor. Sebab, masih banyak bahan baku yang belum tersedia di dalam negeri.
"Pembatasan importasi bahan baku dan bahan penolong hendaknya dapat mempertimbangkan keterbatasan kapasitas industri hulu domestik," kata Juan dalam keterangan resminya, dikutip Minggu (25/2/2024)
Beberapa komoditas bahan baku industri yang perlu dikecualikan dalam kebijakan tersebut yaitu garam industri, besi dan baja, ban kendaraan berat, Monoethylene Glycole (MEG), bahan baku plastik, non-woven, dan kabel serat optik.
Adapun, garam industri erat kaitannya dengan kebutuhan produksi ekspor industri kertas dan makanan minuman. Pasalnya, garam yang diproduksi di RI selama ini hanya untuk garam konsumsi.
Baca Juga
Sebagian komoditas besi baja dan turunannya juga masih perlu diimpor untuk bahan baku/penolong serta suku cadang mesin untuk yang diperlukan dalam proses manufaktur, terutama yang tidak di produksi di dalam negeri.
Ban kendaraan berat untuk bahan penolong produksi juga tak sepenuhnya dapat dipenuhi domestik. Padahal, produk ini penting untuk pengoperasian alat berat di industri tambang, termasuk smelter.
Di sisi lain, bahan baku tekstil polyester yakni Monoethylene Glycole (MEG) juga terancam langka karena 90% produk tersebut diimpor untuk memnuhi kebutuhan 11 industri polyester dalam negeri.
Kadin Indonesia juga mengajukan peninjauan ulang untuk lartas impor bahan baku plastik, khususnya 12 HS Code yang masih dibutuhkan industri. Impor komoditas non-woven untuk bahan baku industri otomotif hingga smelter dan kabel serat optik pun masih diperlukan karena belum sepenuhnya di produksi dalam negeri.
"Untuk itu, diperlukan evaluasi berkelanjutan pada HS code yang terkena larangan terbatas, terutama bahan baku/penolong bagi industri yang berorientasi ekspor," pungkasnya.