Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Beras Melonjak, Politik Bergejolak

Terjadi kelangkaan dan kenaikan harga beras khususnya yang menerpa ritel modern, terutama pada musim politik seperti Pemilu 2024.
Buruh mengangkut karung beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Buruh mengangkut karung beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA- Memasuki Februari, di tengah isu ramainya bantuan sosial atau Bansos sebagai motif politik, harga beras justru perlahan merangkak naik. Bahkan, pasca hari pencoblosan pada 14 Februari yang diikuti dengan berbagai pertentangan elite politik, harga beras terus melambung.

Isu politik pun memasuki putaran baru pascapemilu. Penyelenggaraan Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 berujung pada ancaman Hak Angket oleh DPR RI yang disokong parta koalisi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) nomor urut 1 dan 3.

Musababnya, selain tudingan menggunakan aksi bagi-bagi Bansos, proses eleksi kemarin dinilai mengandung banyak cacat. Sebaliknya, Pemerintahan Joko Widodo menggulirkan isu baru, yakni perombakan kabinet, kabar beredar menyebutkan bakal merapatnya Partai Demokrat dengan menjadikan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Menteri ATR/BPN.

Namun keriuhan itu berlangsung di tengah kecamuk harga beras. Bahkan kini, kenaikan harga juga mendera komoditas pangan lainnya. Terlebih lagi, sebentar lagi memasuki siklus Ramadan dan Idulfitri.

Sebagaimana diungkapkan Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (Core) Eliza Mardian, seharusnya pemerintah bisa fokus untuk kepentingan jangka pendek memastikan distribusi pangan lancer. Sebab, ungkapnya, faktor distribusi ini sangat menentukan harga pangan.

Dia menjelaskan struktur pasar komoditas pertanian cenderung oligopsoni di tingkat petani, tetapi oligopoly di tahap selanjutnya. “Inilah yang berpotensi menyebabkan asimetris informasi termasuk harga, yang merugikan konsumen dan petani,” katanya kepada Bisnis, Selasa (20/2/2024).

Di sisi lain, pemerintah tetap berdalih kenaikan harga pangan, terutama beras bukan disebabkan faktor selain adanya penurunan produksi akibat El Nino. Tidak ada kaitan langsung antara pasokan Bansos menyebabkan langkanya beras.

“Kenapa [harga] naik? Karena ada namanya perubahan iklim, perubahan cuaca, sehingga banyak yang gagal panen,” ujar Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Gedung Kawan Pertanian Terpadu, Banten pada Senin lalu.

Lebih lanjut, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengungkap dampak El Nino inilah yang menghambat pasokan beras. “Suplai lokal beras premium tidak sebanyak dulu karena El Nino, sehingga harganya naik,” kata Zulhas.

Sebaliknya, dia mengimbau masyarakat tidak khawtir karena terdapat stok beras SPHP yang mudah dibeli di ritel modern dan pasar tradisional. Terlebih stok beras Bulog diklaim masih 1 juta ton.

Namun demikian, pemerintah alpa bahwa persoalan pangan dan beras belakangan menyangkut dua hal, yakni kelangkaan dan kenaikan harga. Hal ini seperti diungkapkan Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori.

Dalam sebuah opini berjudul “Beras Hilang dari Peritel Modern” yang diterbikan di Bisnis Indonesia pada Senin (19/2/2024), menyebutkan kelangkaan beras telah terjadi di pasar-pasar modern. Beras beraneka macam merek itu tidak lagi menghiasi rak-rak supermarket dan minimarket.

Dia meragukan anggapan sebab kelangkaan ini dikarenakan serapan Bansos dan Pemilu 2024. Pasalnya, tidak masuk akal jika Bansos yang berupa beras melalui satu program menghilangkan pasokan keseluruhan.

OPINI KHUDORI

Khudori menilai persoalan kelangkaan yang kemudian memicu kenaikan harga beras lebih dikarenakan pasokan terhambat, bukan kekurangan. Menurutnya, dengan kebijakan pangan seperti ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET), membuat pemasok menghindari ritel modern.

“Beras diolah dari gabah. Tinggi-rendahnya harga gabah akan menentukan murah-mahalnya harga beras. Sejak semester II/2022, harga gabah terus naik. Kenaikan harga gabah tecermin pada harga beras, yang terus naik sampai saat ini,” ungkapnya dalam artikel.

Hari-hari ini harga gabah kering panen (GKP) di Jawa Timur antara Rp8.400—Rp8.800/kg. Ketika diolah jadi beras, dengan asumsi rendemen 53%, harga beras Rp15.849—Rp16.603/kg. Itu baru bahan baku, belum biaya pengolahan, margin dan lainnya.

Di Jalur, Sumatra Selatan, harga GKP Rp7.500/kg. Kala diolah jadi beras, dengan rendemen 53%, harganya Rp14.150/kg. Di sisi lain, pemerintah lewat Badan Pangan Nasional (Bapanas), mematok harga eceran tertinggi (HET) beras medium di daerah produsen Rp10.900/kg dan di sentra konsumen Rp11.500—Rp11.800/kg (tergantung ongkos transportasi), serta HET beras premium di daerah produsen Rp13.900/kg dan di sentra konsumen Rp14.400—Rp14.800/kg (tergantung ongkos transportasi). Agar bisa menjual beras premium dengan HET Rp13.900/kg tanpa keuntungan, harga gabah maksimal Rp6.000/kg.

Di sisi lain, Pemerintah tidak membedakan harga beras atas jenis pasar: pasar/ritel modern atau pasar/ritel tradisional. Kalau hari-hari ini berbelanja ke pasar tradisional, fenomena hilangnya beras premium bermerek tidak ditemukan.

Beras premium aneka merek dengan mudah bisa dibeli. Tetapi harganya tinggi. Rata-rata di atas Rp16.000/kg. Pedagang dan penggilingan kini mengalihkan penjualan beras ke pasar tradisional.

Selain volumenya lebih tinggi, sejak diberlakukan September 2017, pasar tradisional tak pernah mematuhi HET. Selama lebih 6 tahun berlaku, HET hanya efektif di pasar modern.

HET akan lebih mudah dipatuhi bila harga gabah sebagai input produksi tak potensial melonjak. Tapi mematok harga gabah secara tetap seperti HET tentu tak adil bagi petani. Karena input produksi pertanian (tenaga kerja, bibit, sewa lahan, pupuk, dan yang lain) harganya tidak tetap.

“Pada titik ini, mempertanyakan HET sebagai sebuah kebijakan menjadi relevan. Kalau harga bahan baku tidak tetap, mengapa harga jual dibuat tetap? Bukankah harga jual yang dibuat tetap itu membatasi inovasi?” tulis Khudori.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Kahfi
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper