Bisnis.com, JAKARTA – Hilirisasi nikel disebut hanya akan memberikan keuntungan semu hingga tahun ke-5 pembangunan smelter atau tahap konstruksi. Setelah itu, keuntungan ekonomi bagi Indonesia akan turun bertahap.
Hal ini tercantum dalam penelitian terbaru Center of Economic and Law Studies (Celios) bersama Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) bertajuk 'Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Nikel'.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, penelitian tersebut menyoroti tiga provinsi utama operasi pengolahan nikel, yaitu di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Hilirisasi nikel yang masif di ketiga daerah tersebut akan berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) positif sebesar US$4 miliar atau setara Rp62,8 triliun pada tahun ke-5.
“Meskipun diklaim terdapat masa depan yang menjanjikan dan peluang yang sangat besar bagi negara yang bisa didapat industri nikel, dampaknya terhadap masyarakat sekitar, terutama kesehatan dan sumber mata pencaharian, menempatkan mereka pada risiko yang besar,” kata Bhima, Selasa (20/2/2024).
Adapun, dampak negatif industri ini terhadap lingkungan dan produktivitas pertanian maupun perikanan memengaruhi total output perekonomian dan menurun secara drastis setelah tahun ke-8.
Baca Juga
Celios memproyeksi kan bahwa dalam 15 tahun ke depan, para petani dan nelayan akan mengalami kerugian hingga US$234,84 juta atau setara Rp3,64 triliun.
Di sisi lain, menurut penelitian tersebut, mitos tentang proyek industri nikel mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal melalui penyerapan tenaga Kerja dan kenaikan upah juga terbantahkan.
“Peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja hanya akan terjadi pada tahun ke-3 pada saat tahap konstruksi pabrik, kemudian cenderung menurun hingga tahun ke-15,” ujarnya.
Secara terperinci, penyerapan tenaga kerja pada tahun pertama terkoreksi 1.309 pekerja. Kemudian, pada tahun ke-5 tenaga kerja melonjak hingga 101.752 pekerja, setelah itu serapan tenaga kerja tergerus hingga tahun ke-15.
Adapun, Celios menemukan temuan tersebut melalui model statistik dengan skenario business as usual (BAU) yang menunjukkan bahwa industri nikel tidak selalu memiliki dampak positif dalam jangka panjang.