Bisnis.com, JAKARTA – Berkah hilirisasi tambang belum banyak mengungkit penyerapan alat berat lokal lantaran kapasitas produksi big machine yang masih minim.
Dari total kapasitas produksi 10.000 unit per tahun, Indonesia hanya mampu memproduksi 40% alat berat berukuran besar yang khususnya digunakan sektor pertambangan.
Sementara itu, Himpunan Industri Alat Berat (Hinabi) mencatat produksi alat berat turun 8,61% (year-on-year/yoy) pada 2023 sebanyak 8.066 unit atau turun dari 8.826 unit pada 2022.
Ketua Umum Hinabi, Jamaluddin mengatakan produksi terbanyak dari sektor pertambangan yang menyerap 65%, disusul sektor agroforestri 20% dan konstruksi 15%.
“2023 alat berat di dominasi mining atau alat-alat besar, tetapi produksi tidak terpenuhi karena kapasitas memang tidak cukup untuk big machine,” kata Jamaluddin kepada Bisnis, dikutip Selasa (13/2/2024).
Permintaan dari sektor pertambangan disebut cukup besar lantaran masifnya investasi di bidang hilirisasi mineral sebesar Rp216,8 triliun, menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Baca Juga
Katalis tersebut tak diiringi dengan kemampuan industry, sehingga mau tak mau kebutuhan alat berat perlu dipasok melalui importasi.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), impor peralatan mekanis dan mesin (HS 84) yang mencakup ekskavator hingga bulldozer mencapai US$32,15 miliar pada 2023, naik dari tahun sebelumnya US$29,61 miliar.
Secara rinci, impor bulldozer (HS 8431420000) naik dari US11,51 juta pada 2022 menjadi US$13,86 juta pada 2023. Sedangkan, impor ekskavator (HS 84295200) pada 2023 menjadi US$1,2 miliar dari tahun sebelumnya US$1,9 miliar.
Adapun, impor barang modal tersebut didominasi datang dari China dan masuk ke pelabuhan dekat lokasi tambang seperti Morowali, Pulau Obi, dan Weda.
Jamaluddin menyebut importasi diperlukan tak semata-mata permintaan yang tinggi, tetapi juga karena spesifikasi alat berat sektor pertambangan belum diproduksi dalam negeri.
“Banyak alat berat yang diperlukan di tambang belum produksi di Indonesia, jadi harus impor,” ujarnya.
Senada, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan alat-alat berat di sektor pertambangan membutuhkan spesifikasi khusus yang belum dapat diproduksi.
Namun, dia belum dapat berkomentar terkait dengan penurunan produksi alat berat lokal yang tak seiring dengan masifnya hilirisasi dalam negeri.
“Indeks Kepercayaan Industri kita kan naik dari Desember ke Januari naik ke 52,35. Saya mesti lihat kalau industri alat beratnya turun ini seperti apa,” tuturnya belum lama ini.
IMPOR ALAT BERAT MELONJAK
Di sisi lain, Ketua Umum Perhimpunan Agen Tunggal Alat Berat Indonesia (PAABI) Etot Listyono memperkirakan importasi alat berat akan terungkit ditopang permintaan tinggi dan Kebijakan yang mempermudah importasi.
Sentimen positif datang dari sisi kebijakan importasi yang sebelumnya terkendala imbas Peraturan Pemerintah No. (PP) 28/2021. Beleid tersebut dinilai mempersulit importasi alat berat bagi importir umum (API-U).
Namun, PP No. 28/2021 resmi direvisi menjadi PP No.46/2023 pada September 2023 lalu. Perubahan regulasi ini membuat katalis perbaikan ketersediaan pasokan.
Permintaan alat berat diperkirakan mencapai 20.000 unit, masih lebih besar dibandingkan kapasitas produksi dalam negeri yang mencapai 10.000 unit per tahun.
"Sudah ada perbaikan, ada revisi terhadap PP 28/2021 kemudian sekarang sudah keluar juklak-juknis nya, jadi mengenai importasi rasanya tahun ini aman gak ada kendala," tuturnya.
Etot Optimistis dengan adanya perbaikan kebijakan tersebut, dalam waktu beberapa bulan ke depan impor alat berat akan lebih mudah masuk ke tambang-tambang mineral.
Sebelumnya, aturan tersebut menjadi salah satu biang kerok penjualan amblas. Pada 2023, penjualan alat berat turun 10,8% (year-on-year) atau sebanyak 18.123 unit, lebih rendah dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 20.300 unit.