Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (Cita) menilai pengusaha jasa hiburan dan kesenian perlu duduk bersama dengan pemerintah daerah agar dapat membayar pajak dengan tarif lama.
Tanpa adanya kesepakata bersama, pengusaha htetap membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), bukan mengikuti tarif lama.
Pengamat Pajak Cita Fajry Akbar menyampaikan, judicial review yang diajukan oleh sejumlah pelaku usaha ke Mahkamah Konstitusi (MK) belum tentu dikabulkan.
Alih-alih memaksa menggunakan tarif lama, Fajry menyebut, pengusaha harusnya mendorong mekanisme insentif pajak hiburan ke pemerintah provinsi.
“Kalau mau bersikap untuk menggunakan tarif yang lama sebelum adanya judicial review, harusnya para pelaku usaha duduk bersama dahulu dengan pemprov agar ada solusi dan kesepakatan bersama, bukan saling ngotot seperti ini,” kata Fajry kepada Bisnis, Jumat (16/2/2024).
Pernyataan ini sekaligus merespons sikap Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (Gipi).
Baca Juga
Melalui Surat Edaran Nomor 091/DPP GIPI/II/02/2024 tentang Pajak Hiburan, Gipi menginstruksikan pengusaha jasa hiburan dalam hal ini diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa untuk membayar pajak hiburan dengan tarif lama, sembari menunggu putusan uji materiil atas UU HKPD.
“Hal ini dilakukan agar dapat menjaga keberlangsungan usaha hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa terhadap kenaikan tarif yang akan berdampak pada penurunan konsumen,” tulis Ketua Umum Gipi Hariyadi B. S. Sukamdani dalam surat edaran yang diterima Bisnis.
Gipi sendiri pada 7 Februari 2024 telah mengajukan judicial review atas UU HKPD khususnya pasal 58 ayat 2. Pasal itu menyebut bahwa khusus tarif pajak barang dan jasa tertentu atau PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
Melalui permohonan uji materiil tersebut, Gipi mengharapkan MK mencabut pasal 58 ayat 2 UU HKPD sehingga penetapan PBJT yang termasuk dalam jasa kesenian dan hiburan sama seperti sebelumnya, antara 0%-10%.
“Dengan dicabutnya pasal 58 ayat 2 pada UU No.1/2022, tidak ada lagi diskriminasi penetapan besaran pajak dalam usaha jasa kesenian dan hiburan,” ujar Hariyadi.
Sementara itu, pemprov DKI Jakarta menyatakan tetap memungut pajak sesuai dengan tarif yang telah ditentukan dalam Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No. 1/2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Pusat Data dan Informasi Badan Pendapatan Daerah (Pusdatin Bapenda) DKI Jakarta menuturkan, pengenaan tarif pajak akan disesuaikan dengan bisnis jasa usaha.
Misalnya, penjualan makanan dan minuman akan dikenakan tarif pajak barang dan jasa tertentu atau PBJT untuk kelab malam, bar, diskotek, dan mandi uap/spa sebesar 40%, sebagaimana tercantum dalam pasal 53 ayat (2) beleid itu.
Untuk tarif PBJT atas makanan dan minuman, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian dan hiburan dipatok sebesar 10% dalam Pasal 53 ayat (1).
“Sejauh ini, itulah kebijakan Bapenda DKI Jakarta yang diterapkan kepada Wajib Pajak Hiburan di Provinsi DKI Jakarta,” kata Pusdatin Bapenda kepada Bisnis, Selasa (13/2/2024).
Artinya, pengusaha yang terlambat ataupun lalai dalam pembayaran pajak daerah akan dikenakan sanksi oleh pemprov DKI Jakarta.
“Sanksi sesuai aturan yang berlaku,” ujarnya.