Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menginstruksikan pengusaha jasa hiburan dalam hal ini diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa untuk membayar pajak hiburan dengan tarif lama, sembari menunggu putusan uji materiel atas Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Instruksi tersebut tercantum dalam Surat Edaran Nomor 091/DPP GIPI/II/02/2024 tentang Pajak Hiburan.
“Hal ini dilakukan agar dapat menjaga keberlangsungan usaha hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa terhadap kenaikan tarif yang akan berdampak pada penurunan konsumen,” tulis Ketua Umum Gipi Hariyadi B. S. Sukamdani dalam surat edaran yang diterima Bisnis.
GIPI pada Rabu (7/2/2024) telah mendaftar ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk pengujian materiil atas UU No.1/2022 khususnya pasal 58 ayat 2. Dalam pasal itu, disebutkan bahwa khusus tarif pajak barang dan jasa tertentu atau PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
Melalui permohonan uji materiil atas regulasi tersebut, industri pariwisata mengharapkan MK mencabut pasal 58 ayat 2 UU No.1/2022. Dengan begitu, penetapan PBJT yang termasuk dalam jasa kesenian dan hiburan sama seperti sebelumnya, antara 0%-10%.
“Dengan dicabutnya pasal 58 ayat 2 pada UU No.1/2022, tidak ada lagi diskriminasi penetapan besaran pajak dalam usaha jasa kesenian dan hiburan,” ujar Hariyadi.
Baca Juga
Sebagaimana diketahui, sejumlah daerah telah menetapkan tarif pajak hiburan terbaru, sebagaimana tercantum dalam UU No.1/2022. Pemprov DKI Jakarta melalui Perda No.1/2024 tentang Pajak Hiburan misalnya, menetapkan tarif pajak sebesar 40% untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Jika merujuk pada surat edaran tersebut, itu artinya pengusaha jasa hiburan di DKI Jakarta kembali mengikuti tarif yang tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No.3/2015.
Dalam beleid itu, tarif pajak untuk panti pijat, mandi uap, dan spa ditetapkan sebesar 35%. Untuk tarif pajak diskotek, karaoke, kelab malam, pub, bar, musik hidup (live music), musik dengan disck jockey (DJ) dan sejenisnya dipatok sebesar 25%.
Selain GIPI, terdapat Asosiasi Spa Terapis Indonesia (Asti) sudah lebih dulu mengajukan judicial review ke MK pada 3 Januari 2024 dan telah diterima pada 5 Januari 2024. Gugatan tersebut diajukan asosiasi sebagai bentuk penolakan terhadap UU No.1/2022.
Ketua Asti Mohammad Asyhadi menilai, pungutan pajak sebesar 40%-75% berpotensi mematikan usaha spa di seluruh Indonesia, lantaran harga jasa spa otomatis naik sehingga menurunkan minat masyarakat melakukan terapi kesehatan di spa.
Pelaku usaha juga akan semakin terbebani dengan pajak yang besar karena selain pajak PBJT 40%, pelaku usaha juga tetap membayar pajak PPN sebesar 11%, pajak penghasilan badan (PPh) 25%, PPh pribadi selaku pengusaha sebesar 5%-35%, tergantung penghasilan kena pajak atau PKP.
Selain mengeluhkan kenaikan pajak hiburan, asosiasi juga meminta MK untuk menghapus jasa mandi uap/spa dari kategori jasa kesenian dan hiburan, yang tertuang dalam pasal 55 ayat 1 UU No.1/2022.
Didi menegaskan, spa berbeda dengan hiburan. Apalagi dalam Permenparekraf No. 4/2021 tentang Standar Kegiatan Usaha Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pariwisata, SPA tidak dikategorikan sebagai hiburan.
Kemudian, karena objek spa merupakan manusia, maka diatur oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang tercantum dalam UU No.36/2009 tentang Kesehatan dan UU No.36/2014 tentang Tenaga Kesehatan.
“Saya mohon ke hakim Mahkamah Konstitusi untuk bisa memutuskan seadil-adilnya terhadap gugatan kami,” ucap Didi.
Protes yang dilayangkan pelaku industri jasa hiburan mendapat respons dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Dia menilai, langkah yang ditempuh sejumlah asosiasi merupakan hak warga negara dan akan ditanggapi oleh pemerintah mengingat regulasi tersebut dibuat oleh pemerintah dan DPR RI.
“Nggak apa-apa, itu kan hak, bagusnya begitu. Kalau ada yang nggak puas minta aja judicial review ke MK, nanti kita akan tanggapi,” kata Tito di Kantor Kemenko Perekonomian, Senin (29/1/2024).