Bisnis.com, JAKARTA – Neraca perdagangan barang Indonesia dengan China, khususnya nonmigas, mencatatkan defisit terdalam pada Januari 2024 senilai US$1,38 miliar.
Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar mengungkapkan defisit yang cukup dalam ini didorong oleh tiga komoditas, utamanya berasal dari mesin dan peralatan mekanis serta bagiannya (HS 84),
“Kemudian mesin dan perlengkapan elektrik dan bagiannya kode HS 85 serta plastik dan barang dari plastik kode HS 39,” ujarnya dalam Rilis Berita Resmi Statistik, Kamis (15/2/2024).
Secara umum, defisit dengan China ini berasal dari kinerja ekspor yang mencapai US$4,57 miliar, sementara impor tercatat lebih tinggi di angka US$5,95 miliar.
BPS memerinci, komoditas HS 84 memberikan sumbangan defisit paling dalam senilai US$1,5 miliar. Sementara impor dari komoditas HS 85 juga lebih besar ketimbang ekspor yang dilakukan sehingga defisit senilai US$1,28 miliar.
Kebutuhan Indonesia akan plastik dan barang dari plastik nampaknya juga terus diimpor dari Negeri Tirai Bambu ini yang mencapai US$316,6 juta. Sementara ekspor Indonesia untuk komoditas ini ke China saat ini hanya US$25 juta.
Baca Juga
Berdasarkan data historis BPS, China terakhir menyumbang defisit terdalam pada Agustus 2023 dengan nilai US$621 juta. Sepanjang September hingga Desember 2023, posisi China tergantikan oleh Australia, dan China tidak masuk dalam tiga teratas penyumbang defisit neraca dagang terdalam dalam periode tersebut.
Selain China, Australia dan Thailand masuk dalam tiga teratas negara penyumbang defisit terdalam.
Amalia menjelaskan bahwa defisit Indonesia dengan Australia mencapai US$432,6 juta pada Januari 2024. Utamanya oleh pengiriman bahan bakar mineral (HS 27) dari Australia ke Indonesia senilai US$157,2 juta. Sementara Indonesia tidak melakukan ekspor komoditas tersebut ke Australia.
Di sisi lain, kebutuhan Indonesia akan serealia (HS 10) juga berasal dari Thailand. Komoditas ini memberikan sumbangan defisit terdalam terhadap neraca dagang RI dengan Thailand, senilai US$153 juta.
Adapun, neraca perdagangan secara umum tercatat melanjutkan tren surplus untuk 45 bulan beruntun atau sejak Mei 2020.
Pada Januari 2024, surplus tercatat senilai US$2,02 miliar yang berasal dari ekposr dengan nilai US$20,52 miliar dan impor senilai US$18,51 miliar.
Capaian ini lebih rendah dari rata-rata proyeksi konsensus ekonom Bloomberg yang berada di angka US$2,74 miliar.