Bisnis.com, JAKARTA - Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, buka suara usai peritel meminta pemerintah merelaksasi harga eceran tertinggi (HET) untuk komoditas pokok dan penting seperti beras.
“Challenge-nya bukan HET, tapi produksi [padi],” kata Arief kepada Bisnis, dikutip Senin (12/2/2024).
Dia mengungkapkan, Indonesia saat ini membutuhkan beras yang lebih banyak mengingat stok dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan beras nasional sebanyak 2,5 juta ton per bulan.
Merujuk data Kerangka Sampel Area (KSA), produksi beras pada Januari 2024 diprediksi sekitar 900.000 ton - 1,2 juta ton. Lalu, pada Februari 2024, produksi beras diperkirakan mencapai 1,3 juta ton. Jika ditotal, stok Januari-Februari 2024 tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan beras nasional.
Untuk menutupi kekurangan tersebut, pemerintah lantas melakukan importasi, sekaligus mempersiapkan cadangan pangan pemerintah (CPP).
“Walaupun sangat pahit, importasi saat ini harus dijalankan,” ujar Arief.
Baca Juga
Stok tersebut juga akan digunakan untuk program bantuan pangan dan stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP). Meski bantuan pangan dihentikan sementara mulai 8-14 Februari 2024, program lainnya tetap dipastikan berjalan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Di antaranya, dengan terus menggelontorkan beras ke pasar tradisional, pasar modern, hingga pasar Induk Cipinang untuk meredam harga beras yang melonjak tinggi.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) sebelumnya meminta pemerintah untuk merelaksasi HET untuk komoditas pokok dan penting seperti beras untuk mencegah kekosongan dan kelangkaan sejumlah komoditas tersebut pada gerai ritel modern di Indonesia.
Ketua Umum Aprindo, Roy N. Mandey, menuturkan, relaksasi ini dimaksud agar peritel dapat membeli bahan pokok dan penting tersebut dari para produsen yang telah mengerek naik harga beli di atas HET selama sepekan terakhir. Dia mengungkapkan, harga beli meningkat 20%-35% dari harga sebelumnya.
Akibatnya, peritel tidak ada pilihan dan harus membeli beras dengan harga di atas HET dari para produsen atau pemasok beras lokal.
“Bagaimana mungkin kami menjualnya dengan HET? Siapa yang akan menanggung kerugiannya? Siapa yang akan bertanggung jawab bila terjadi kekosongan dan kelangkaan bahan pokok dan penting tersebut pada gerai ritel modern kami, karena kami tidak mungkin membeli mahal dan menjual rugi,” ungkap Roy dalam keterangan tertulisnya.
Berdasarkan informasi yang diterima Bisnis, harga beras yang dibeli peritel mencapai sekitar Rp15.200 per kilogram hingga Rp15.500 per kilogram.
Jumlah tersebut diatas HET yang ditetapkan pemerintah yakni sebesar Rp10.900 hingga Rp11.800 per kilogram untuk beras medium, sedangkan beras premium Rp13.900 hingga Rp14.800 per kilogram.
Oleh karena itu, peritel mengharapkan pemerintah untuk menghadirkan regulasi untuk mengatasi permasalahan anomali harga bahan pokok dan penting yang semestinya dapat terkelola dan terkendali dengan baik.