Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah membantah kekhawatiran pengusaha ritel soal aturan pengetatan impor yang dianggap berisiko menghambat pertumbuhan bisnis.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Budi Santoso menekankan bahwa pengetatan pengawasan impor akan menguntungkan pengusaha. Sebab, menurutnya, aturan tersebut dapat melindungi pelaku usaha dari barang-barang impor ilegal.
"Seharusnya pengusaha kalau benar-benar impor yang benar ya [sesuai prosedur] malah enggak apa-apa, justru mereka senang karena akan terlindungi," ujar Budi saat ditemui di Kantor Kemendag, Minggu (4/2/2024).
Adapun pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.36/2023 telah menggeser pengawasan impor sejumlah produk dari sebelumnya post border menjadi border. Sejumlah produk yang terimbas beleid itu di antaranya seperti elektronik, alas kaki, pakaian jadi, kosmetik dan obat tradisional.
Budi menjelaskan, beleid tersebut dibuat untuk mencegah penyelundupan barang - barang impor masuk ke dalam negeri. Di sisi lain, menurutnya, pemerintah juga terus melakukan pengawasan dan pemberantasan terhadap produk impor ilegal.
Dengan pengawasan secara border maka produk impor yang masuk harus melalui pemeriksaan secara ketat terlebih dahulu. Dia pun meyakinkan pengusaha bahwa aturan itu tidak akan menghambat bisnis yang telah berjalan selama ini.
Baca Juga
"Enggak [menghambat usaha] justru ini untuk penataan mereka dan menghilangkan ilegal [produk impor], biar mereka tenang berbisnis, itu maksudnya tidak ada maksud lain," jelas Budi.
Sebelumnya, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah menyebut, kebijakan pengetatan impor juga dianggap jadi biang kerok terhambatnya pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia.
Terutama pengetatan pada impor barang branded yang berdampak pada sektor-sektor tertentu. Kebijakan itu telah mengakibatkan banyak toko yang menjual barang impor branded mulai kehabisan stok.
Misalnya saja, Budihardjo menyebut bahwa sebuah toko elektronik di Indonesia kini hanya memiliki 60% stock keeping unit (SKU) dari jumlah SKU di Singapura dan Malaysia. Kondisi itu menyebabkan harga barang branded di Indonesia lebih mahal 40% dibandingkan di Singapura dan Malaysia.
"Apabila hal ini terus berlangsung dan tidak ada solusi dari pemerintah, maka asosiasi ritel dan ekosistemnya yang menaungi lebih dari 10 juta karyawan ini akan terus bertumbangan," ujar Budihardjo dalam Musyawarah Nasional (Munas) Hippindo, Rabu (17/1/2024).