Bisnis.com, JAKARTA – Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi ke atas perkiraan pertumbuhan ekonomi global tahun 2024 dalam outlook ekonomi terbarunya.
Dalam laporan World Economic Outlook Januari 2024 yang dirilis Selasa (30/1/2024), IMF merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,1% pada 2024. Proyeksi ini naik 0,2 poin persentase dari laporan sebelumnya.
Proyeksi pertumbuhan tahun 2024 cenderung stagnan dibandingkan tahun 2023, di mana IMF memperkirakan ekonomi global tumbuh 3,1%. pada tahun 2025, IMF memperkirakan ekonomi tumbuh 3,2%.
Kepala ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas mengatakan perekonomian global mulai memasuki tahap akhir menuju soft landing karena inflasi terus menurun dan pertumbuhan ekonomi masih solid. Namun, laju pertumbuhan masih lambat, dan turbulensi mungkin masih akan terjadi.
"Perekonomian global secara mengejutkan sangat tangguh. Untuk tahun 2024, peningkatan dari proyeksi kami pada bulan Oktober sebagian besar disebabkan oleh ketahanan di AS dan beberapa negara emerging market dan negara berkembang yang besar, ditambah dengan lebih banyak dukungan fiskal di China,” ungkap Gourinchas.
Namun, proyeksi pertumbuhan global pada tahun 2024 dan 2025 masih berada di bawah rata-rata historis (2000-2019) tahunan sebesar 3,8%.
Baca Juga
”Ini mencerminkan kebijakan moneter yang ketat dan penarikan dukungan fiskal, serta rendahnya produktivitas yang mendasari pertumbuhan,” ungkap IMF dalam laporannya.
IMF memperkirakan negara-negara mengalami penurunan pertumbuhan pada tahun 2024 sebelum meningkat pada tahun 2025, dengan pemulihan di zona euro dan moderasi pertumbuhan di AS. Negara emerging market dan berkembang diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang stabil hingga tahun 2024 dan 2025, dengan perbedaan di tiap regional.
Gourinchas mengatakan, inflasi global diperkirakan akan turun menjadi 5,8% pada tahun 2024 dan 4,4% pada tahun 2025. Proyeksi tahun 2025 direvisi turun dari perkiraan sebelumnya.
Dia melanjutkan, risiko-risiko terhadap pertumbuhan global saat ini seimbang. Sisi positifnya, disinflasi yang lebih cepat dapat meringankan kondisi keuangan, sedangkan kebijakan fiskal yang lebih longgar dari perkiraan dapat memacu pertumbuhan untuk sementara waktu, meskipun dengan risiko penyesuaian yang lebih mahal di kemudian hari.
”Momentum reformasi yang lebih kuat dapat mendorong pertumbuhan produktivitas dengan dampak positif,” lanjutnya.
Namun, Gourinchas mengingatkan risiko penurunan pertumbuhan masih ada, termasuk potensi lonjakan harga komoditas baru akibat guncangan geopolitik. Inflasi yang terus berlanjut, berlanjutnya pelemahan di sektor properti China, atau perubahan yang mengganggu pada kenaikan pajak dan pemotongan belanja.