Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong PT PLN (Persero) untuk memperluas skema bisnis terkait dengan penjaringan pendanaan proyek-proyek yang termuat dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, inisiatif itu diharapkan dapat menjadi alternatif investasi lain yang saat ini dimiliki PLN.
“Jadi semua pendanaan tidak tergantung pada PLN,” kata Dadan kepada Bisnis, Selasa (30/1/2024).
Dorongan itu menjadi krusial selepas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membeberkan terdapat gap funding Rp108,67 triliun yang dicatat PLN untuk pembangunan pembangkit dan infrastruktur ketenagalistrikan lainnya yang tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Kesenjangan pendanaan itu, menurut badan audit, menyebabkan realisasi pembangunan pembangkit dan infrastruktur ketenagalistrikan lainnya dalam RUPTL 2021-2030 belum optimal.
Berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PLN Tahun 2021 dan 2022, kebutuhan investasi untuk proyek yang tertuang di dalam RUPTL saat itu masing-masing sebesar Rp78,90 triliun dan Rp73,10 triliun. Hanya saja, PLN hanya bisa mengumpulkan pendanaan sebesar Rp19,93 triliun untuk 2021 dan Rp23,4 triliun untuk 2022.
Baca Juga
Pendanaan itu dihimpun dari subsidiary loan agreement (SLA), project loan, penanaman modal negara (PMN), dana internal hingga result based loan & pay for result loan (RBL).
Audit senjang investasi kelistrikan itu tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kinerja Pengelolaan Batu Bara, Gas Bumi, dan Energi Terbarukan dalam Pengembangan Sektor Ketenagalistrikan Untuk Menjamin Ketersediaan, Keterjangkauan dan Keberlanjutan Energi Tahun Anggaran 2020 sampai dengan Semester I 2022 pada Kementerian ESDM dan instansti terkait lainya yang disahkan pada 9 Mei 2023 lalu.
Dadan mengatakan, potensi pendanaan internasional untuk membantu investasi proyek-proyek PLN yang terencana di RUPTL terbilang besar. Dia berharap perusahaan setrum pelat merah itu bisa menarik peluang investasi ke dalam negeri untuk mendorong realisasi pembangunan yang molor dalam RUPTL.
“Potensi pendanaan internasional sangat besar termasuk yang dikomitmenkan oleh JETP,” kata dia.
Dihubungi terpisah, Executive Vice President Komunikasi Korporat dan TJSL PLN Gregorius Adi Trianto mengatakan, perseroan berkomitmen untuk mempercepat pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan yang telah direncanakan dalam RUPTL 2021-2030.
“Pembangunan tersebut tentu tidak bisa dilakukan oleh PLN sendiri, sebagai BUMN, PLN harus mempertimbangkan kondisi kesehatan keuangan yang berkelanjutan dan alokasi investasi korporasi,” kata Greg.
Ihwal rasio keuangan perusahaan setrum itu, BPK memeriksa debt service coverage ratio (DSCR) PLN tahun 2022 dan 2023 sebesar 0,85 dan 0,92.
DSCR adalah rasio keuangan yang mengukur kemampuan pendapatan operasional usaha suatu perusahaan untuk melunasi total kewajiban. Nilai DSCR yang disyaratkan minimal 1,5, sedangkan DSCR PLN tahun 2021 dan 2022 hanya sebesar 0,82 dan 0,92. Artinya, PLN tidak dapat membayar kewajiban utang saat ini tanpa menarik sumber dari luar.
Sementara rasio self financing, yaitu pembiayaan yang dapat disediakan sendiri oleh pemohon kredit. Besaran proyeksi rasio keuangan PLN pada 2022 dan 2023 masing-masing sebesar 12% dan 20% sedangkan batas minimal yang harus dipenuhi sebesar 15%. Artinya, PLN tidak mempunya cash flow yang dipersyaratkan untuk mengajukan pinjaman baru.
Berdasarkan praktik umum keuangan, kedua rasio tersebut merupakan syarat wajib yang akan dinilai lembaga pembiayaan. BPK menilai dua rasio itu akan membuat PLN kesulitan untuk memenuhi covenant yang dipersyaratkan.