Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membeberkan terdapat kekurangan pendanaan atau gap funding Rp108,67 triliun yang dicatat PT PLN (Persero) untuk pembangunan pembangkit dan infrastruktur ketenagalistrikan lainnya yang tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Kesenjangan pendanaan itu, menurut badan audit, menyebabkan realisasi pembangunan pembangkit dan infrastruktur ketenagalistrikan lainnya dalam RUPTL 2021-2030 belum optimal.
Berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PLN Tahun 2021 dan 2022, kebutuhan investasi untuk proyek yang tertuang di dalam RUPTL saat itu masing-masing sebesar Rp78,90 triliun dan Rp73,10 triliun. Hanya saja, PLN hanya bisa mengumpulkan pendanaan sebesar Rp19,93 triliun untuk 2021 dan Rp23,4 triliun untuk 2022.
Pendanaan itu dihimpun dari subsidiary loan agreement (SLA), project loan, penanaman modal negara (PMN), dana internal hingga result based loan & pay for result loan (RBL).
Audit senjang investasi kelistrikan itu tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kinerja Pengelolaan Batu Bara, Gas Bumi, dan Energi Terbarukan dalam Pengembangan Sektor Ketenagalistrikan Untuk Menjamin Ketersediaan, Keterjangkauan dan Keberlanjutan Energi Tahun Anggaran 2020 sampai dengan Semester I 2022 pada Kementerian ESDM dan instansti terkait lainya yang disahkan pada 9 Mei 2023 lalu.
Executive Vice President Komunikasi Korporat dan TJSL PLN Gregorius Adi Trianto mengatakan, perseroan berkomitmen untuk mempercepat pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan yang telah direncanakan dalam RUPTL 2021-2030.
Baca Juga
“Pembangunan tersebut tentu tidak bisa dilakukan oleh PLN sendiri, sebagai BUMN, PLN harus mempertimbangkan kondisi kesehatan keuangan yang berkelanjutan dan alokasi investasi korporasi,” kata Greg kepada Bisnis dikutip Selasa (30/1/2024).
Dengan demikian, kata Greg, perseroan terus mengedepankan kerja sama dengan perusahaan swasta di tingkat domestik dan internasional untuk mengatasi persoalan gap funding tersebut.
“PLN selalu berupaya menjaga pemenuhan rasio-rasio keuangan sesuai batas yang ditetapkan dan berkoordinasi erat dengan pemerintah untuk pemenuhannya,” kata dia.
Ihwal rasio keuangan perusahaan setrum itu, BPK memeriksa debt service coverage ratio (DSCR) PLN tahun 2022 dan 2023 sebesar 0,85 dan 0,92.
DSCR adalah rasio keuangan yang mengukur kemampuan pendapatan operasional usaha suatu perusahaan untuk melunasi total kewajiban. Nilai DSCR yang disyaratkan minimal 1,5, sedangkan DSCR PLN tahun 2021 dan 2022 hanya sebesar 0,82 dan 0,92. Artinya, PLN tidak dapat membayar kewajiban utang saat ini tanpa menarik sumber dari luar.
Sementara rasio self financing, yaitu pembiayaan yang dapat disediakan sendiri oleh pemohon kredit. Besaran proyeksi rasio keuangan PLN pada 2022 dan 2023 masing-masing sebesar 12% dan 20%, sedangkan batas minimal yang harus dipenuhi sebesar 15%. Artinya, PLN tidak mempunyai cash flow yang dipersyaratkan untuk mengajukan pinjaman baru.
Berdasarkan praktik umum keuangan, kedua rasio tersebut merupakan syarat wajib yang akan dinilai lembaga pembiayaan. BPK menilai dua rasio itu akan membuat PLN kesulitan untuk memenuhi covenant yang dipersyaratkan.