Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom menilai rencana pemerintah untuk memberikan insentif perpajakan berupa PPh Badan ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 10% bagi pelaku jasa hiburan berisiko mengerek nilai belanja pajak makin buncit.
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyampaikan dengan adanya ketentuan insentif fiskal dalam Pasal 101 UU HKPD seharusnya menjadi solusi bagi pengusaha.
Dengan demikian, insentif pajak tak perlu pemerintah berikan lagi kepada para pengusaha yang mengeluhkan tingginya batas bawah tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa sebesar 40%.
“Insentif Pasal 101 UU HKPD sudah cukup. Jangan menambah masalah baru, jangan sampai belanja perpajakan meningkat,” ujarnya kepada Bisnis.com, dikutip Selasa (23/1/2024).
Untuk tahun ini saja, belanja pajak mendapatkan beban baru dengan adanya PPN DTP untuk sektor perumahan. Belum lagi insentif pajak lainnya yang masih berjalan seperti tax holiday dan tax allowance.
Untuk itu, Fajry meminta pengusaha tidak perlu khawatir terkait kenaikan pajak ini, karena dengan insentif pasal 101 UU HKPD sudah cukup mengurangi beban pengusaha.
Baca Juga
Pasalnya, belanja pajak yang terus meningkat bukan saja dikhawatirkan Fajry akan menambah beban APBN, namun juga menahan kenaikan rasio pajak.
Padahal, rasio pajak menjadi isu yang terus disebut-sebut bahkan dalam debat calon presiden dan calon wakil presiden.
“Padahal semangat para capres menaikkan tax ratio. Kalau belanja pajaknya naik, gimana tax ratio-nya mau naik,” tutup Fajry.
Secara umum, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menargetkan belanja perpajakan pada 2024 sebesar Rp374,5 triliun, meningkat 6,1% dibandingkan dengan outlook pada 2023 (year-on-year/yoy) sebesar Rp352,8 triliun.
Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa nilai belanja perpajakan secara keseluruhan meningkat secara terukur seiring dengan pertumbuhan ekonomi, kegiatan produksi, dan konsumsi masyarakat.
Reallisasi nilai belanja perpajakan Indonesia 2022 tercatat sebesar Rp323,5 triliun atau sebesar 1,65 persen dari PDB.
Nilai tersebut secara nominal meningkat sebesar 4,4% dibandingkan nilai belanja perpajakan 2021 senilai Rp310 triliun atau 1,83% terhadap PDB yang disebabkan oleh mulai pulihnya perekonomian nasional.