Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Temui Menparekraf, Ni Luh Djelantik Ungkap Dampak Pajak Hiburan 40% Bagi Pariwisata Bali

Dia meminta Menparekraf Sandiaga Uno dan Menkeu Sri Mulyani untuk melihat langsung kondisi industri jasa hiburan di Bali yang sekarang mati suri pascapandemi.
Wisatawan di kawasan Tanah Lot, Bali pada Rabu (14/12/2022). - Bloomberg/Nyimas Laula
Wisatawan di kawasan Tanah Lot, Bali pada Rabu (14/12/2022). - Bloomberg/Nyimas Laula

Bisnis.com, JAKARTA — Aktivis sosial Ni Luh Putu Ary Pertami Djelantik menilai penetapan pajak hiburan di kisaran 40%-75% dapat membunuh masyarakat, terutama bagi pelaku usaha dan pekerja yang bergerak di industri jasa hiburan.

Hal itu ditegaskan secara langsung oleh pendiri Niluh Djelantik itu saat berkunjung ke kantor Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Senin (22/1/2024).

Niluh, sapaan akrabnya, meminta Menparekraf Sandiaga Uno dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk berkunjung dan melihat langsung kondisi industri jasa hiburan di Bali yang sekarang mati suri pascapandemi Covid-19. Dia mengungkapkan, 60% masyarakat Bali bekerja di sektor pariwisata. 

Jika tarif pajak ditetapkan 40%-75%, maka kebijakan tersebut dapat memberatkan pelaku usaha hingga pekerja, lantaran biaya yang terlalu besar.

“Itu sama dengan membunuh rakyat karena ada puluhan ribu pekerja di sana, karena ada puluhan ribu yang bekerja di restoran, di bar, di night club,” ungkap Niluh di Kantor Kemenparekraf.

Dia juga khawatir, pajak hiburan yang tinggi dapat membuat konsumen yang memerlukan hiburan atau refreshing lebih memilih berlibur ke luar negeri. Oleh karena itu, dia meminta pemerintah untuk belajar dari Thailand. Perlu diketahui, Negeri Gajah Putih itu mematok pajak hiburan sebesar 5%.

Niluh menegaskan, para pelaku industri jasa hiburan tidak membutuhkan insentif fiskal, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran No. 900.1.13.1/403/SJ tentang Petunjuk Pelaksanaan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Jasa Kesenian dan Hiburan tertentu Berdasarkan UU No.1/2022 tentang HKPD.

Alih-alih insentif fiskal, pelaku usaha lebih membutuhkan peraturan yang tepat. “Buat mereka insentif fiskal, mereka tidak membutuhkan itu,” tegasnya. 

Ditemui terpisah, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya menolak kebijakan pajak hiburan 40%-75%. 

Pengusaha khawatir, adanya kebijakan tersebut justru membuat perekonomian Pulau Dewata kembali tergerus. Padahal, sektor pariwisata di Bali tengah dalam proses pemulihan pascapandemi Covid-19.

“Kami khawatir kalau wisatawan berkurang, tentu perekonomian Bali akan kolaps lagi karena 60% Bali sangat bergantung pada sektor pariwisata,” kata Rai Suryawijaya usai menghadiri rapat di Kantor Kemenko Perekonomian, Senin (22/1/2024).

Dia juga khawatir, kebijakan tersebut dapat memicu pemutusan hubungan kerja (PHK), mengingat hampir 1,2 juta penduduk Bali bekerja di sektor pariwisata.

Oleh karena itu, dia meminta pemerintah untuk mengevaluasi UU No.1/2022. Dia juga menegaskan pemerintah daerah untuk lebih tegas dan berani dalam menetapkan besaran pajak hiburan. 

“Pemerintah daerah yang tahu persis keadaan daerahnya harus tegas berani harusnya mau, dengan SE [tentang Petunjuk Pelaksanaan Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Jasa Kesenian dan Hiburan] saja cukup mengembalikan ke aturan yang lama,” ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ni Luh Anggela
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper