Bisnis.com, JAKARTA- Industri rokok ataupun turunan tembakau dinilai memiliki ekosistem industri yang sangat luas, sehingga butuh perlindungan melalui kebijakan.
Hal itu disampaikan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Prof. DR. Syamsul Arifin, M.Si., berpandangan petani tembakau yang jumlahnya jutaan memiliki kontribusi besar bagi penerimaan negara setiap tahunnya. Belum lagi kontribusi di sektor lain. Di lain sisi, keberadaan mereka terancam dengan kebijakan pemerintah yang mengganggu kelangsungan hidupnya.
Menurut Prof. Syamsul Arifin, kegiatan seminar nasional dan bedah buku yang digelar Fakultas Ekonomi Bisnis UMM bersama KADIN Jawa Timur ini merupakan bagian dari sharing pengetahuan, berbagi informasi terkait dinamika kebijakan cukai di hadapan civitas akademika.
"Diharapkan dari diskusi ini bisa memberikan sumbangsih pemikiran bagi pemerintah/negara atas keberlangsungan ekosistem pertembakauan berpihak pada masyarakat," katanya sebagaimana dikutip dari siaran pers, Kamis (11/1/2023).
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun berpendapat, Indonesia perlu kepemimpinan yang mendukung kepentingan nasional agar industri hasil tembakau (IHT) tak melulu dipojokkan dengan kebijakan yang restriktif.
Hal itu mengingat terdapat 300-an regulasi baik di tingkat Undang Undang sampai dengan Peraturan Daerah yang dibuat oleh pemerintah dinilai mengganggu ilklim usaha rokok nasional.
Baca Juga
"Diperlukan pemimpin yang mampu melakukan harmonisasi regulasi penting untuk kelangsungan IHT dan memberi arah yang jelas bagi seluruh kepentingan ekosistem pertembakauan," tegas Misbakhun dalam keterangan pers.
Misbakhun mengingatkan adanya tekanan kepentingan global lewat Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), ditambah lagi dengan polemik RPP Kesehatan tembakau dipastikan petani tembakau dan cengkeh, termasuk pemda penerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) akan terus merana.
Padahal, IHT sudah terbukti jelas menjadi tulang punggung penerimaan APBN, dengan setoran cukai sekitar Rp300 triliun setiap tahunnya serta menyerap jutaan tenaga kerja nasional.
"Sampai sekarang kalau cara pemerintah mengelola IHT nasional masih seperti ini, maka perdebatannya tak akan selesai dalam 3 tahun yang akan datang. Dan saya kaget bahwa isu yang sangat krusial seperti ini tak dimasukkan Komisi Pemilihan Umum [KPU] dalam debatnya capres - cawapres. Harusnya dimasukkan karena menyangkut jutaan tenaga kerja, menyangkut Rp300 triliunan penerimaan negara," tegasnya.
Menurut legislator partai Golkar ini, RPP Kesehatan tembakau menjadi alat yang dinilai paling jahat dalam mengganjal IHT nasional, karena hanya melihat satu aspek kesehatan saja.
"Saya berharap pasal yang berkaitan dengan IHT di RPP ini bisa dibatalkan atau dikeluarkan terlebih dahulu dari RPP Kesehatan sebelum ada analisis yang cukup mendalam terkait dampak ekonomi dan juga sektor-sektor terkait, yaitu pertanian, periklanan, ritel, tenaga kerja, dan sektor lain," kata Misbakhun.
Misbakhun menilai RPP Kesehatan yang masuk terlalu dalam ke industri tembakau menafikan hak-hak lain yang juga dijamin Konstitusi seperti petani tembakau. Akibatnya para petani dan buruh tembakau dirugikan.
"Saya berharap pemerintah memahami penolakan yang selama ini sudah berjalan sehingga apa yang menjadi inisiasi yang bersifat restriktif itu dikeluarkan dari RPP Kesehatan. Karena penolakan sudah sangat masif dan pandangan yang lebih objektif sudah masuk ke pemerintah dan harusnya pemerintah bisa lebih adil karena ini tidak hanya menyangkut sektor kesehatan semata," tandasnya.