Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tolak Kenaikan Pajak Hiburan, Pengusaha Ajukan Judicial Review ke MK

Asosiasi SPA Terapis Indonesia (Asti) mengajukan judicial review aturan pajak hiburan
Gedung Mahkamah Konstitusi RI di Jakarta. -Bisnis.com/Samdysara Saragih
Gedung Mahkamah Konstitusi RI di Jakarta. -Bisnis.com/Samdysara Saragih

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi SPA Terapis Indonesia (Asti) mengajukan judicial review atau pengujian yudisial ke Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk penolakan terhadap Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Gugatan tersebut sudah diterima oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 Januari 2024.

Perlu diketahui, judicial review merupakan uji (toetsingrechts), baik materiil maupun formil, yang diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif, legislatif, maupun yudikatif di hadapan peraturan perundangan yang lebih tinggi derajat dan hierarkinya.

Ketua Asti, Mohammad Asyhadi, menyampaikan, pemerintah dalam menyusun UU No.1/2022 tidak melibatkan para pelaku usaha. Regulasi ini juga dinilai bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.

“Kami sepakat untuk melakukan judicial review sehingga pada 3 Januari kita ke MK, kemudian diterima secara resmi itu 5 Januari 2024,” kata Didi dalam konferensi pers di Taman Sari Royal Heritage SPA, Kamis (11/1/2024).

Adapun, dalam pasal 55 ayat 1 beleid itu, SPA masuk dalam kategori jasa kesenian dan hiburan. Padahal kata Didi, SPA tidak sama dengan hiburan. Misalnya dalam Permenparekraf No. 4/2021 tentang Standar Kegiatan Usaha Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pariwisata, SPA tidak dikategorikan sebagai hiburan.

Kemudian, karena objek SPA merupakan manusia, maka SPA diatur oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang tercantum dalam UU No.36/2009 tentang Kesehatan dan UU No.36/2014 tentang Tenaga Kesehatan.

“Jadi dengan dasar itu SPA bukan hiburan,” ujarnya.

Selain itu, kenaikan pajak hiburan menjadi 40% hingga 75% berpotensi mematikan usaha SPA di seluruh Indonesia, lantaran harga jasa SPA otomatis naik sehingga menurunkan minat masyarakat melakukan terapi kesehatan di SPA.

Pelaku usaha juga akan semakin terbebani dengan pajak yang besar karena selain pajak PBJT 40%, pelaku usaha juga tetap membayar pajak PPN sebesar 11%, pajak penghasilan badan (PPh) 25%, PPh pribadi selaku pengusaha sebesar 5%-35%, tergantung penghasilan kena pajak atau PKP.

“Saya mohon ke hakim Mahkamah Konstitusi untuk bisa memutuskan seadil-adilnya terhadap gugatan kami,” ucap Didi.

Perwakilan Industri SPA dan Anggota ASPI, Wulan Tilaar, menambahkan, adanya penetapan pajak yang cukup besar membuat industri SPA demotivasi, mengingat industri ini tengah dalam fase pemulihan pasca pandemi Covid-19.

“Bagaimana caranya kita untuk bangkit sementara dicanangkan pula di Kemenparekraf Wellness Tourism,” ungkapnya.

Pemerintah melalui UU No.1/2022 menetapkan PBJT untuk penjualan atau konsumsi barang dan jasa tertentu seperti makanan dan minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian dan hiburan.

“Tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10%,” bunyi pasal 58 ayat 1, dikutip Kamis (11/1/2024).

Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau SPA, ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%. Tarif PBJT akan ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ni Luh Anggela
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper