Gerry menyebut, pembentukan Angkasa Pura Indonesia sebagai subholding operator bandara ini dinilai tidak akan memiliki dampak yang begitu jelas. Justru dikhawatirkan adanya bentrokan gaya bisnis Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II di lapangan dengan adanya penggabungan ini.
Gerry mengatakan, aksi merger ini akan berimbas negatif terhadap kompetisi antarbandara. Saat ini pemerintah membutuhkan ekspansi konektivitas melalui program kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
“Kalau dulu bisa ada dua penawaran dari dua operator BUMN, sekarang jadi lebih sulit,” kata Gerry saat dihubungi, Kamis (3/1/2024).
Ke depannya, Gerry menyarankan Angkasa Pura Indonesia sebaiknya memang hanya menjadi holding bandara-bandara komersil BUMN.
Selanjutnya, setiap bandara di bawahnya juga dibuat menjadi subsidiary company masing-masing dengan ijin badan usaha bandar udara (BUBU) tersendiri.
Dirinya mencontohkan skema spin off dengan strategic partnership seperti di Bandara Kualanamu. Gerry mengatakan skema spin off ini contohnya dapat diterapkan pada Bandara Soekarno-Hatta dan Bandara Ngurah Rai untuk mencari solusi dalam hal investasi dan ekspansi.
Sementara itu, bandara-bandara lain yang dinilai belum profitable dari sisi bisnis sebaiknya tetap dikelola oleh AP I dan AP II. Gerry menuturkan, hal ini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya monopoli horizontal dan vertikal yang terlalu kuat di InJourney.
Menurut Gerry, jika bandara-bandara dan maskapai BUMN sangat terintegrasi dengan InJourney akan memunculkan risiko bisnis monopolistik InJourney pada sektor aviasi dengan unfair advantage.
“Penggabungan ini kan demi efisiensi, tetapi kalau menjadi monopolistic player yang terlalu dominan, efficiency gains tersebut akan hilang diganti dengan monopolistic protective practices yang merugikan ekonomi. Pencegahannya dengan masing-masing bandara yang bisa dimitrakan dilepas menjadi subsidiary,” pungkasnya.