Bisnis.com, JAKARTA – Rencana peleburan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Ditjen Bea Cukai, dua institusi di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu), mencuat dari calon wakil presiden (cawapres) nomor urur 2 Gibran Rakabuming Raka saat debat perdana cawapres pekan lalu.
Peleburan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Ditjen Bea Cukai tersebut nantinya akan berada langsung di bawah komando Presiden RI.
“Jadi DJP dan Bea Cukai akan dilebur jadi satu, sehingga fokus dalam penerimaan negara saja, tidak akan mengurusi lagi masalah pengeluaran,” kata Gibran minggu lalu.
Lantas, apa sebenarnya untung rugi dari peleburan Direktorat Jenderal Pajak dan Ditjen Bea Cukai?
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyampaikan bahwa lembaga administrasi penerimaan pajak dan non-pajak yang otonom (Semi-Autonomous Revenue Authority/SARA) berdasarkan hasil studi dapat mendorong peningkatan penerimaan pajak dan non-pajak yang signifikan.
Hal ini dikarenakan beberapa faktor, seperti, peningkatan administrasi pajak dan nonpajak, penurunan tingkat korupsi, peningkatan kepatuhan wajib pajak, dan peningkatan keadilan pajak dan nonpajak.
Baca Juga
Menurut Yusuf, SARAs akan memiliki otonomi dan fleksibilitas yang lebih besar daripada otoritas pajak tradisional, sehingga memungkinkan mereka menerapkan metode pengumpulan pajak dan non-pajak yang lebih efisien.
“Mereka juga cenderung lebih tidak rentan terhadap korupsi karena tidak terikat pada tekanan politik yang sama seperti otoritas pajak konvensional,” katanya kepada Bisnis, Rabu (27/12/2023).
Selain itu, Yusuf mengatakan bahwa SARAs dapat membangun hubungan yang lebih baik dengan para wajib pajak, juga mendorong meningkatnya kepatuhan terhadap hukum pajak, serta memastikan keadilan dan kesetaraan dalam pengumpulan pajak dan nonpajak.
Namun demikian, Yusuf menyampaikan bahwa ada juga beberapa kekurangan dalam dalam implementasi SARAs tersebut.
Beberapa kritikus, imbuhnya, berpendapat bahwa SARAs kurang akuntabel kepada publik karena seringkali tidak tunduk pada tingkat pengawasan yang sama seperti otoritas pajak tradisional.
Di samping itu, terdapat juga potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh SARAs dalam pengumpulan pajak dan non-pajak secara tidak adil atau terlibat dalam praktik korupsi.
“Selain itu, biaya pendirian dan pengoperasian SARAs bisa sangat mahal, menjadi tantangan bagi negara-negara berkembang dengan sumber daya terbatas,” jelasnya.
Lebih lanjut, Yusuf mengatakan bahwa kompleksitas dalam pengelolaan SARAs juga bisa menjadi masalah bagi negara-negara dengan lembaga yang lemah.
"Secara keseluruhan, SARAs dapat menjadi alat berharga untuk meningkatkan administrasi serta penerimaan pajak dan non-pajak di negara-negara berkembang. Namun, penting untuk mempertimbangkan risiko dan tantangan potensial dengan cermat sebelum menerapkan sistem SARA,” tutur Yusuf.
Pada kesempatan berbeda, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat bahwa penggabungan DJP dan DJBC kurang tepat untuk dilakukan, karena tugas dan fungsi DJBC tidak hanya berfokus pada penerimaan negara.
Pasalnya, Bhima menilai DJBC juga memiliki fungsi pengawasan barang, khususnya di pelabuhan dan pintu perbatasan.
“Pengawasan barang masuk itu bukan hanya soal penerimaan negara, tapi juga terkait screening keamanan barang apakah ilegal dan berbahaya bagi konsumen,” katanya.
Selain itu, Bhima mengatakan bahwa proses penggabungan kedua institusi membutuhkan waktu yang lama, tidak hanya terkait perubahan nomenklatur, tetapi juga reorganisasi.
“Bisa 5-10 tahun baru efektif selesai. Artinya, satu periode presiden tidak akan cukup,” jelasnya.
Bhima menilai rencana penggabungan DJP dan DJBC justru dikhawatirkan akan menyebabkan penurunan moral para petugas di lapangan, proses birokrasi yang lebih rumit, serta merugikan pelaku usaha dan masyarakat, dikarenakan masa transisi.