Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sengketa Biodiesel di WTO, Kemendag Ungkap Peluang RI Menang dari Uni Eropa

Kemendag membeberkan seberapa besar peluang Indonesia memenangkan sengketa Biodiesel atas Uni Eropa di WTO.
Petugas memperlihatkan contoh bahan bakar biodiesel saat peluncuran Road Test Penggunaan Bahan Bakar B30 (campuran biodiesel 30% pada bahan bakar solar) pada kendaraan bermesin diesel, di Jakarta, Kamis (13/6/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
Petugas memperlihatkan contoh bahan bakar biodiesel saat peluncuran Road Test Penggunaan Bahan Bakar B30 (campuran biodiesel 30% pada bahan bakar solar) pada kendaraan bermesin diesel, di Jakarta, Kamis (13/6/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia kembali mengajukan permohonan pembentukan panel untuk penyelesaian sengketa DS618 terkait produk Biodiesel di World Trade Organization (WTO).

Kementerian Perdagangan (Kemendag) membeberkan seberapa besar peluang Indonesia memenangkan sengketa biodiesel atas uni eropa tersebut.

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono, mengakui bahwa penyelesaian proses sengketa di WTO tidak mudah.

Djatmiko menyatakan dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha dan tim kuasa hukum untuk penyelesaian sengketa tersebut.

Meskipun Indonesia memiliki rekam jejak pernah memenangkan sengketa melawan Uni Eropa dalam ketentuan BMAD (Bea Masuk Anti-Dumping) pada 2018, Djatmiko menuturkan bahwa pada penyelesaian sengketa biodiesel kali ini pihaknya akan mengawal proses penyelesaian sengketa lebih baik.

"Termasuk penentuan komposisi hakim/panel dan menyusun argumentasi gugatan," ujar Djatmiko kepada Bisnis, dikutip Minggu (3/12/2023).

Dia pun optimistis, Pemerintah Indonesia dapat memenangkan sengketa dengan Uni Eropa tersebut di WTO.

"Pemerintah Indonesia akan berupaya secara optimal untuk menyampaikan argumen yang kuat kepada panel," ucapnya.

Sebelumnya, Uni Eropa sempat menolak permintaan pertama Indonesia untuk dibentuk panel penyelesaian sengketa biodiesel pada pertemuan DSB pada 26 Oktober 2023. Uni Eropa bersikeras tindakan mereka dapat dibenarkan terhadap produk biodiesel Indonesia.

Diketahui, sejak 6 Desember 2018, Komisi Uni Eropa menginisiasi penyelidikan antisubsidi terhadap produk biodiesel dari Indonesia. Hal tersebut dilakukan berdasarkan petisi yang diajukan oleh European Biodiesel Board (EBB) yang diwakilkan oleh firma hukum Fidal pada 19 Oktober 2018.

Komisi Uni Eropa melakukan penyelidikan antisubsidi terhadap impor biodiesel asal Indonesia dengan mengambil lima perusahaan produsen atau pengekspor biodiesel sebagai sampel.

Sebelumnya, Uni Eropa juga melakukan penyelidikan atas isu yang sama kepada Argentina yang dimulai sejak 31 Januari 2018. Namun, dengan adanya pengajuan pembentukan panel kedua kalinya ini, maka secara otomatis telah terbentuk oleh WTO terlepas penolakan dari Uni Eropa.

WTO dalam keterangan resmi di situsnya pada 27 November 2023 menyatakan bahwa DSB telah menyetujui permintaan Indonesia untuk pembentukan panel sengketa guna meninjau bea masuk penyeimbang yang digunakan oleh Uni Eropa atas biodiesel asal Indonesia.

Biro Advokasi Perdagangan Kemendag, Nugraheni Prasetya Hastuti, mengatakan pengajuan kembali pembentukan panel sengketa biodiesel tersebut menjadi upaya pemerintah untuk memperjuangkan akses pasar produk biodiesel Indonesia di pasar Uni Eropa.

Benua Biru itu dianggap diskriminatif terhadap produk biodiesel Indonesia karena dianggap menerima subsidi dari pemerintah dengan pengenaan Bea Masuk Imbalan (BMI) berkisar antara 8—18% terhitung mulai 29 November 2019.

Adapun, pokok gugatan yang diajukan Indonesia dalam sengketa biodiesel antara lain isu tuduhan pendanaan biodiesel dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang dianggap subsidi oleh Komisi Eropa; tuduhan Komisi Eropa terkait adanya dukungan dari Pemerintah Indonesia untuk penyediaan minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO), dan perhatian atas penghitungan ancaman kerugian material oleh Komisi Eropa yang tidak berdasar dan tidak sesuai dengan ketentuan yang seharusnya (Agreement on Subsidies and Countervailing Measures/SCM Agreement).

"Indonesia mengharapkan agar panel segera dibentuk dan sidangpemeriksaan sengketa dapat dilaksanakan pada semester pertama 2024," ujar Nugraheni dalam keterangan resmi, Rabu (29/11/2023).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dwi Rachmawati
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper