Bisnis.com, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah berkenaan pengendalian zat adiktif dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai turunan dari UU No. 17/2023 tentang Kesehatan disebut dapat memicu efisiensi karyawan di industri terkait.
Sebagaimana diketahui, RPP Kesehatan tersebut membatasi dan melarang berbagai platform media untuk mengiklankan produk hasil tembakau. Hal ini pun memicu keresahan dari industri kreatif terutama periklanan, ritel, petani tembakau, hingga industri tembakau.
Perwakilan Asosiasi Media Luar Griya Indonesia (AMLI) Fabianus Bernadi mengatakan iklan dari produk hasil tembakau seperti rokok banyak berkontribusi terhadap pendapatan.
Jika dilarang, maka beban berat perusahaan akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja PHK) karyawan.
"Karyawan sudah pasti akan ada PHK dan multiplier effect di media luar griya misalnya dari printing company, itu pasti terkena, mereka gak akan dapat order lagi," kata Fabianus, Selasa (21/11/2023).
Apalagi, Fabianus menekankan bahwa media luar griya cukup bergantung pada iklan industri tembakau. Bahkan, semakin besar kapasitas perusahan maka semakin besar ketergantungannya kepada iklan produk tembakau tersebut.
Baca Juga
Bagi pengusaha layanan iklan media luar griya, ada investasi besar yang digelontorkan yang dipertaruhkan jika RPP Kesehatan tersebut diberlakukan.
"Kita survei, ada 57 perusahaan dari Bali, Jawa Timur, Sulawesi, Sumatra, itu 44-50% penghasilannya dari iklan rokok," imbuhnya.
Di sisi lain, Fabianus memastikan pihaknya selama ini telah mengikuti aturan pemerintah, dalam hal iklan produk tembakau. Beberapa di anyaranya seperti ukuran reklame yang diperkecil hingga tidak mengekspos gambar rokok.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution mengatakan pembatasan tayangan iklan rokok yang diperkecil, yakni semula 21.30 hingga 05.00 menjadi 23.00 hingga 03.00 pagi tidak masuk akal.
"Untuk jam tayang roko ini sudah masuk jam dewasa, kalau harus diubah lagi tentunya sangat berdampak terhadap pendapatan industri televisi," terangnya.
Menurut Syafril, pemerintah perlu mengkaji dampak dari iklan di TV terhdap kesehatan masyarakat di Indonesia. Alih-alih TV, dia menilai layanan media Over-The-Top (OTT) juga perlu dipertimbangkan.
"Kenapa OTT tidak diatur? Padahal itu lebih masif untuk orang melihat, tetapi itu tidak diatur pemerintah, sekarang kita mau lihat iklan apa di OTT juga bisa, iklan rokok," pungkasnya.