Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Erma Yulihastin

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim & Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Perilaku El Nino dan Implikasi ke Ekonomi

Berdasarkan riset, setiap kejadian El Nino kuat berimplikasi terhadap perlambatan ekonomi global hingga 5 tahun berikutnya.
Petani beraktivitas di lahan persawahan di kawasan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten, Senin (17/1/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Petani beraktivitas di lahan persawahan di kawasan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten, Senin (17/1/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Sejak 1980, hanya pernah terjadi tiga kali El Niño kuat yang sering juga disebut dengan super El Niño atau El Niño ekstrem secara ilmiah (Santoso et al., 2017; Cai et al., 2020).

Oleh prakirawan cuaca di Amerika Serikat, untuk memudahkan pemahaman publik, El Niño kuat yang bertahan lama juga diperkenalkan dengan istilah El Niño Godzilla, sosok monster fiktif imajinatif dalam film layar lebar besutan Hollywood. Kata Godzilla sebagai monster yang disematkan untuk menggambarkan karakter El Niño kuat inilah yang saya ubah menjadi Gorila sebagai bahasa yang lebih mudah dipahami oleh publik di Indonesia.

Perilaku Godzilla atau Gorila yang secara powerful dapat melipatgandakan kekuatannya kembali setelah melampaui tahapan yang tenang dan dikira telah terjadi pelemahan atau peluruhan inilah salah satu yang menjadi dasar penyebutan istilah Godzilla/Gorila El Niño pada kasus 2015—2016.

Istilah Gorila yang sama saja dengan Godzilla ini digunakan untuk publik Indonesia agar lebih mudah memahami karakter El Niño kuat tersebut. Kata Godzilla El Niño yang awalnya dicetuskan oleh prakirawan cuaca di Amerika Serikat juga bukan sebuah istilah ilmiah, karena El Niño yang memiliki intensitas melebihi 2 derajat Celsius biasa disebut dengan El Niño yang super atau ekstrem.

Semua hal tentang perilaku Gorila El Niño dapat dicermati dengan merujuk pada satu kasus El Niño 2015.

Pertama, secara siklus hidup, Gorila El Niño berlangsung lebih lama dari 9 bulan (18 bulan) sehingga melebihi kasus-kasus El Niño kuat sebelumnya pada 1997 dan 1982.

Kedua, secara struktur anomali suhu permukaan laut yang maksimum, lokasinya ada di timur Pasifik dan bukan tengah Pasifik, sehingga secara ilmiah disebut juga dengan istilah El Niño eastern Pacific.

Ketiga, berdasarkan kajian yang dilakukan di BRIN, kekuatan struktur “lidah” panas dari El Niño mengalami penguatan dan pelemahan dalam rentang 1—2 bulanan. Artinya, kekuatan El Niño tidak terus menerus kuat melainkan secara periodik menguat dan melemah dan menguat kembali selama dalam rentang bulanan.

Keempat, dibandingkan dengan kasus El Niño kuat pada 1982 dan 1997, El Niño 2015 memiliki intensitas yang lebih rendah karena berfluktuasi di sekitar 2 di atas Samudra Pasifik ekuator bagian tengah (Nino3.4) dibandingkan kasus El Niño kuat yang lain. Meskipun demikian, struktur spasial El Niño ini terus memanjang dan meluas hingga mendekati Indonesia yaitu dekat wilayah Papua.

Kelima, hanya pada kasus El Niño 2015, perilaku nonlinier El Niño terlihat dengan jelas sehingga ilmuwan bersepakat mengatakan El Niño 2015 ini merepresentasikan El Niño di tengah bumi yang memanas lebih tinggi dan karena itu dianggap sebagai clue bagaimana perilaku El Niño dalam merespons pemanasan global.

Keenam, terjadi adveksi panas di lautan yang terjadi secara zonal dari timur ke barat secara kuat dan kontinu melalui perubahan pada lapisan termoklin. Itulah yang menyebabkan El Niño bertahan lebih lama dari siklus normalnya.

Dengan memperhatikan keenam faktor perilaku Godzilla/Gorila El Niño 2015 di atas, maka El Niño 2023 berpotensi dapat berperilaku seperti El Niño 2015 karena telah masuk dalam kategori El Niño kuat (1,5—2C) yang diprediksi dapat mencapai intensitas 2C bahkan melebihinya pada Januari—Februari 2024.

Untuk diketahui, data fluktuasi harian El Nino 3.4 selama September—Oktober 2023 yang dikaji oleh BRIN dari berbagai sumber data global telah mencapai 2C. Selain itu, dengan merujuk pada data klimatologis 1961—1990, anomali suhu permukaan laut di Pasifik timur telah pernah mencapai 3,5C dan kini 2,4C (per 5 November 2023), yang menunjukkan terdapat stok panas di laut (heat ocean budget) yang powerful untuk diadveksikan atau ditransfer menuju barat sehingga pemanasan di Samudra Pasifik dapat memanjang dan meluas.

Apalagi, data suhu global dari ECMWF menunjukkan, saat ini suhu anomali rata-rata bulanan global mencapai 1,76C (per September 2023). Kondisi ini tentu menimbulkan implikasi panas yang berlimpah atau berlebihan (overheat) sehingga suplai energi panas dari atmosfer dapat ditransfer menuju laut secara terus-menerus melalui interaksi atmosfer-laut, yang secara global dimanifestasikan dalam bentuk El Niño yang bertahan lama atau prolong El Niño.

IMPLIKASI

Berdasarkan riset, setiap kejadian El Niño kuat berimplikasi terhadap perlambatan ekonomi global hingga 5 tahun berikutnya.

Berkaca pada kasus El Niño 1997, perekonomian global menurun US$2,1 triliun pada tahun pertama dan US$4 triliun—US$5 triliun selama 5 tahun berikutnya, dengan kerugian terbesar ditanggung oleh negara-negara tropis. Studi terkini juga menunjukkan pada kasus Gorila El Niño 2015, kerugian ekonomi global mencapai US$3,9 triliun.

Peneliti juga telah melakukan proyeksi hingga 2100 terhadap dampak El Niño menggunakan skenario tinggi perubahan iklim dan menunjukkan penurunan ekonomi global US$33 triliun dapat terjadi dengan mempertimbangkan tahun-tahun terjadinya El Niño. Kajian lain bahkan mengkuantifikasi perlambatan dapat mencapai US$84 triliun jika memperhitungkan dampak lima tahun berikutnya pada setiap kejadian El Niño.

Berdasarkan kajian terhadap model proyeksi yang dijalankan oleh BRIN menggunakan skenario moderat perubahan iklim, hingga 2030 dapat terjadi 2—3 kali El Niño dengan intensitas terkuat telah dan sedang kita alami saat ini (2023—2024).

Pada faktanya, El Niño yang terjadi pada 2023—2024 saat ini memiliki timing yang lebih cepat 1 tahun dibandingkan proyeksi moderat tersebut, karena El Niño seharusnya diproyeksikan baru berlangsung pada 2024—2026. Oleh karena itu, asumsi bahwa emisi karbon dioksida meningkat pesat dibandingkan kenaikan yang diinginkan secara moderat juga menjadi dasar perlunya dilakukan intervensi global secara serius oleh negara-negara internasional yang berkomitmen menjaga kenaikan suhu global tidak melebihi 2C hingga 2050.

Fakta lain dari hasil model proyeksi yang kami jalankan juga menunjukkan bahwa hingga 2030, frekuensi terjadinya El Niño mencapai 2—3 kali sementara La Nina diproyeksikan terjadi sekali. Hal ini dapat dipahami sebagai bagian dari cara Samudra Pasifik mengalami proses kesetimbangan setelah 2—3 tahun mengalami La Nina yang berkepanjangan. Hal ini juga sekaligus mengonfirmasi fase kering bagi Indonesia yang membutuhkan mitigasi dari berbagai pihak.

Kondisi ini tentu saja harus diantisipasi oleh Indonesia dengan segera menerapkan strategi pengamanan ekonomi nasional.

Mengingat sektor paling rentan terkena dampak El Niño adalah pertanian, maka langkah strategis dari hulu ke hilir harus segera dilakukan untuk pengamanan stok pangan nasional. Selain itu, karena dampak El Niño bersifat global dan meluas tak hanya meliputi negara-negara di Asia Pasifik tapi juga di negara-negara maju di bumi utara, maka kerja sama juga dapat dijalin melalui berbagai negosiasi di sektor perekonomian melalui skema kerjasama yang saling membantu dan menguntungkan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper