Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah untuk memberikan stimulus guna mendongkrak permintaan pasar dalam negeri seiring turunnya impor bahan baku/penolong selama 5 bulan terakhir.
Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani menyampaikan, selama konsumsi pasar stagnan, pelaku usaha tidak punya banyak justifikasi untuk meningkatkan konsumsi bahan baku/penolong.
“Jadi, kalau mau konsumsi bahan baku/penolong oleh pelaku usaha meningkat, yang perlu ditingkatkan lebih dulu adalah konsumsi atau demand pasar,” kata Shinta kepada Bisnis, Kamis (16/11/2023).
Shinta menuturkan, permintaan bukan sesuatu yang bisa distimulasi oleh pelaku usaha secara leluasa. Pelaku usaha hanya bisa memaksimalkan permintaan pasar yang ada melalui promosi-promosi penjualan, tetapi cara ini pun ada batasnya. Sebab, cara ini tak selalu menciptakan peningkatan kinerja penjualan atau konsumsi sehingga tidak selalu berhasil mendongkrak konsumsi bahan baku/penolong atau kinerja produksi perusahaan.
“Yang kami rasa lebih berdampak adalah stimulasi dari sisi pemerintah dalam bentuk stimulasi konsumsi, subsidi pasar, atau bentuk stimulasi konsumsi lain seperti insentif fiskal untuk konsumsi produk tertentu,” ujarnya.
Dari sisi suplai atau pelaku usaha, pemerintah dapat menstimulasi kinerja usaha dan konsumsi bahan baku/penolong dengan peningkatan daya saing iklim usaha dan fasilitasi ekspor agar permintaan pasar yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha bisa lebih maksimal, dengan meningkatkan daya saing niche produk-produk buatan Indonesia.
Baca Juga
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, impor bahan baku/penolong mencapai US$13,44 miliar pada Oktober 2023 atau turun 6,08% (year-on-year/yoy). Tren penurunan ini telah terjadi selama 5 bulan terakhir.
Secara kumulatif, total nilai impor bahan baku penolong tercatat turun US$19,32 miliar atau 12,65% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini disebabkan oleh berkurangnya impor pada sejumlah komoditas seperti bahan bakar mineral, besi dan baja, serta plastik dan bahan dari plastik.
Di sisi lain, tren surplus perdagangan Indonesia terus mengecil. Untuk pelaku usaha, kata Shinta, surplus perdagangan yang mengecil menjadi tanda bahwa Indonesia tak cukup baik dalam menstimulasi kinerja ekspor, meningkatkan daya saing produk ekspor nasional atau diversifikasi negara tujuan ekspor nasional yg bisa menciptakan optimalisasi penerimaan ekspor.
Oleh karena itu, yang perlu dilakukan pemerintah adalah dengan meningkatkan program-program stimulasi ekspor yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya peningkatan fasilitasi ekspor khususnya ke negara-negara rekan FTA/CEPA/PTA dan pasar-pasar non-tradisional emerging seperti India, fasilitasi prosedur ekspor melalui peningkatan simplifikasi prosedur, dokumentasi dan lartas yang tidak perlu, meningkatkan akses pembiayaan ekspor yang affordable, khususnya untuk UMKM, program-program pemberdayaan produk ekspor, fasilitasi penetrasi pasar ekspor non-tradisional, dan lainnya.