Bisnis.com, JAKARTA - Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) mengusulkan agar pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan domestic price obligation (DPO) batu bara untuk sektor ketenagalistrikan.
Sekretariat JETP menilai kebijakan patokan harga khusus batu bara sebesar US$70 per ton tersebut dapat menghambat proses transisi energi di sektor ketenagalistrikan.
Spesialis Pendanaan dan Kebiajakan Sekretariat JETP Elrika Hamdi mengatakan, kebijakan DPO bermasalah karena menciptakan ilusi bahwa harga batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) murah dan stabil. Padahal, harga komoditas emas hitam itu bergerak fluktuatif sehingga menciptakan ketidakstabilan.
“Bagian kebijakan DPO ini yang kami anggap menjadikan beberapa risiko. Pertama, menghambat proses dekarbonisasi di Indonesia karena PLTU dianggap murah,” kata Elrika dalam Dialoh Masyarakat Sipil JETP, Selasa (14/11/2023).
Selain mengambat dekarbonisasi, Erlika juga melihat kebijakan DPO ini membuat pengunaan batu bara tidak efisien.
Selain itu, JETP juga menyoroti kebijakan kewajiban pasok dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) batu bara tidak efektif karena tidak optimalnya pengenaan sanksi terhadap produsen batu bara yang tidak memenuhi kebijakan DMO.
Baca Juga
Adapun, DMO merupakan peraturan tentang kewajiban badan usaha di hasil tambang untuk memenuhi kebutuhan batu bara dalam negeri.
“Sebenarnya ada, tapi implementasinya belum cukup kuat, jadi masih banyak produsen batu bara indonesia tidak kena penalti, seperti produsen kecil,” ujarnya.
Untuk itu, Erlika mengajak pemerintah untuk membuat sebuah kebijakan baru di sektor batu bara untuk mencapai tujuan JETP dalam jangka waktu pendek dan menengah.
“Jadi usulan kebijakan yang kami usulkan dalam jangka pendek dan menengah, yaitu yuk, kita bikin kebijakan baru dan mekanisme kelembagaan yang baru,” ucapnya.