Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) mencatatkan surplus anggaran sebesar Rp34,94 triliun hingga September 2023. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan anggaran tahunan BI (ATBI) diperkirakan surplus sebesar Rp27,19 triliun hingga akhir tahun 2023.
“Prognosa capaian ini lebih baik dari rencana awal pada ATBI 2023 yang pada waktu itu direncanakan defisit Rp19,99 triliun,” katanya dalam rapat kerja penyampaian rencana anggaran tahunan BI (RATBI) di Komisi XI DPR RI, Senin (13/11/2023).
Menurut Perry, anggaran BI yang surplus tersebut dipengaruhi oleh prognosa anggaran kebijakan yang mencatat surplus Rp3,20 triliun dan prognosa anggaran operasional yang surplus sebesar Rp23,98 triliun.
Dia merincikan anggaran kebijakan yang mencatat surplus didorong oleh optimalisasi penerimaan dari pengelolaan surat berharga, termasuk Surat Berharga Negara (SBN) dan realisasi bauran kebijakan.
“Antara lain terkait pembayaran jasa giro kepada pemerintah dan kebutuhan beban operasi moneter,” jelas Perry.
Di samping itu, anggaran operasional yang juga mencatatkan surplus lebih tinggi dari rencana awal, dipengaruhi oleh peningkatan penerimaan pengelolaan cadangan devisa yang didukung implementasi reformasi cadangan devisa, serta pengaruh suku bunga global yang meningkat tinggi dari asumsi awal.
Baca Juga
Sementara pada 2024, anggaran tahunan BI diperkirakan defisit sebesar Rp29,29 miliar. Defisit ini sejalan dengan upaya BI dalam memperkuat respons bauran kebijakan, serta melanjutkan transformasi kebijakan dan kelembagaan pada 2024.
Hal ini, kata Perry, dalam rangka tetap menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dari dampak tingginya ketidakpastian ekonomi dan keuangan global.
Dia juga menyampaikan bahwa defisit anggaran pada 2024 terutama dipengaruhi oleh pengeluaran anggaran kebijakan yang meningkat, termasuk kenaikan biaya operasi moneter dan beban kontribusi BI atas program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) atau burden sharing.
“Sehingga anggaran kebijakan direncanakan defisit Rp38,98 triliun, karena biaya moneter, karena suku bunga yang memang perlu dipertahankan dan dengan itu beban yang kami kontribusikan ke pemerintah sesuai burden sharing akan meningkat,” kata dia.