Bisnis.com, JAKARTA - Pajak belakangan menjadi barang populis yang dibincangkan oleh para calon presiden yang akan bertarung di Pemilihan Umum 2024. Dalam publikasi visi misi serta rencana program mereka, isu perpajakan menjadi salah satu rencana kerja utama jika mereka terpilih.
Bagi sebagian masyarakat, isu perpajakan mungkin terdengar kompleks, tetapi di balik kompleksitasnya tersirat berbagai harapan tentang keadilan, transparansi, dan keberlanjutan ekonomi. Isu perpajakan bukan hanya sekadar diskusi mengenai cara mengumpulkan pendapatan negara, lebih daripada itu ia merupakan refleksi dari integritas pemerintah, tak terkecuali para capres yang berlomba untuk mendapatkan dukungan masyarakat.
Banyak persoalan perpajakan yang harus dihadapi oleh pemimpin bangsa yang akan terpilih pada Pemilu 2024. Persoalan mengenai rendahnya rasio pajak, rendahnya tax awareness, serta jauhnya nilai-nilai tax equity mutlak jadi pekerjaan rumah yang kudu mereka hadapi.
PAJAK & ELEKTORAL
Isu pajak tentu akan sangat berdampak pada elektoral para capres. Klaim ini bukan tanpa alasan karena telah terbukti pada Pemilu 2020 di Amerika Serikat. Sejak pemilu 2020 serta pemilu 2024 mendantang yang juga akan berlangsung di Amerika, isu ekonomi terutama perpajakan menjadi isu yang paling banyak dibahas di kalangan pemilih Amerika.
Dalam laporan berjudul “Important Issues in The 2020 Election” terbitan Pew Research Center, mencatat 79% atau 8 dari 10 pemilih Amerika terdaftar mengatakan bahwa ekonomi dan pajak menjadi variabel paling penting bagi mereka dalam mengambil keputusan mengenai siapa yang mereka pilih pada pemilu Amerika 2020 silam.
Seruan Joe Biden yang menyerukan “If you elect me, your taxes are gonna be raised, not cut,” bisa jadi menghantarkannya menjadi orang nomor satu di Amerika. Alih-alih menjanjikan pemotongan pajak seperti kompetitornya Donald Trump, Biden justru terang-terangan akan menaikan setoran pajak bagi warga Amerika Serikat.
Baca Juga
Mengapa demikian?
Isu disparitas kekayaan menjadi isu yang banyak dibahas oleh masyarakat Amerika. Arah kebijakan ekonomi dan pajak Donald Trump terkesan proteksionis dan kurang transparan serta cenderung pro orang kaya dan pebisnis. Hal tersebut dibuktikan dengan amandemen Undang-Undang Pemotongan Pajak dan Ketenagakerjaan pada 2017 yang didukung penuh Partai Republik (Partai yang mengusung Trump) dianggap menguntungkan crazy rich dan pebisnis Amerika dan justru memperteruk ketimpangan distribusi pendapatan.
Mengutip Reuters, amandemen tersebut diantaranya mengurangi tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi (OP) tertinggi menjadu 37% dari 39,6%, serta memangkas tarif pajak perusahaan dari 35% menjadi 21%.
Biden melihat disparitas ini hanya bisa ditanggulangi dengan mengenakan pajak yang lebih tinggi terhadap crazy rich dan korporasi agar terwujudnya sistem pemajakan yang adil. Secara umum arah kebijakan perpajakan Biden ialah menaikan kembali tarif PPh Badan dan PPh orang pribadi (op) dengan tiga cara. Pertama mengembalikan tarif PPh OP menjadi 39,6% bagi penghasilan lebih dari US$400,000/tahun. Kedua mengenakan PPh tambahan sebesar 12,4% pada pekerja berpenghasilan di atas US$400,00/tahun. Ketiga Biden menaikkan tarif pajak untuk capital gain di atas US$1.000.000 menjadi 39,6%.
Mengutip laporan Reuters berjudul “Fact check: Ad featuring Biden quote on tax raises misses context of remark”, dari rencana pajak Biden, hampir 93% kenaikan pajak ditanggung oleh wajib pajak (WP) yang berada di breket teratas dalam distribusi pendapatan dan merupakan WP berpenghasilan lebih dari US$873.000/tahun.
URGENSI TAX EQUITY
Dari cara Joe Biden mendongkrak elektabilitas dengan mengangkat isu keadilan pajak menjadi bukti bahwa narasi keadilan pajak punya peran krusial dalam mendongkrak elektabilitas dan lebih dari pada itu tax equity telah menjadi pekerjaan rumah yang berkepanjangan.
Sayangnya, para capres tidak memandang aspek keadilan pajak sebagai hal krusial dalam program kerjanya. Para capres dalam visi misinya tak sekalipun menyinggung soal keadilan pajak. Padahal instrumen utama pengendalian kesenjangan ekonomi untuk menciptakan keadilan sosial adalah pajak yang berkeadilan.
Disparitas distribusi pendapatan yang tinggi kian hari kian terlihat nyata. Deutsche Welle menempatkan Indonesia di urutan ke-4 sebagai negara dengan indeks ketimpangan tertinggi di dunia. Mereka mengklaim mayoritas aset di Indonesia dikuasai hanya oleh 1% orang terkaya, dengan kesenjangan mencapai 49%.
Ketimbang sibuk membangun lembaga baru seperti Badan Penerimaan Negara (BPN) yang rentan menjadi ladang korupsi baru, atau malah menaikan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan menurunkan tarif PPh 21 yang malah berpotensi pada menurunnya tax ratio, lebih baik presiden yang nantinya terpilih merancang kebijakan yang berorientasi pada tax equity. Salah satunya dengan membentuk mekanisme untuk menaikan tax burden Indonesia secara adil yang berorientasi untuk kenaikan tax ratio.
Data yang disunting dari wisevoter.com berjudul “Highest Taxed Countries,” menempatkan Indonesia pada urutan 150 dari 172 negara. Tax burden Indonesia hanya 9,47%, bandingkan dengan Denmark yang tax burdennya mencapai 46% dengan tarif PPh tertingginya mencapai 56%. Tax Burden adalah jumlah total beban pajak yang harus dibayarkan oleh op, perusahaan, atau entitas lainnya, dan dianggap dapat mengurangi kuantitas kekayaan WP. Satu-satunya cara paling rasional untuk menaikan tax burden secara adil adalah dengan menaikan tarif PPh untuk crazy rich.
TAX AWARENESS
Peran krusial pajak sebagai penyumbang utama APBN telah banyak disadari oleh masyarakat. Namun, hal tersebut tidak diiringi dengan tingkat kepatuhan pajak.
Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang merupakan pengulangan program tax amnesty jadi bukti masih begitu rendahnya tax awareness masyarakat Indonesia terutama dari kalangan crazy rich. Apa buktinya? Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan mayoritas peserta PPS ialah mereka yang hartanya mencapai lebih dari Rp1 miliar—Rp100 miliar.
Untuk itu, disamping keadilan, transparansi menjadi aspek kunci dalam menjaga kepercayaan publik terhadap pajak. Ketika wajib pajak merasa pajak yang mereka bayarkan dikelola secara transparan, kepercayaan terhadap pemerintah juga meningkat. Dengan tingginya kepercayaan publik, masyarakat menjadi lebih sukarela dalam membayar pajak.
Efisiensi pengumpulan, penggunaan yang berorientasi pada pemerataan pembangunan yang tepat sasaran, dan efektifitas pengelolaan pajak juga menjadi faktor yang dapat mendorong kepercayaan publik. Selama ini masyarakat banyak dibingungkan dengan kompleksnya peraturan pajak yang harus mereka patuhi, belum lagi rumitnya proses pembayaran pajak, dan hal paling krusial ialah pengalokasian uang pajak yang terkadang kurang tepat sasaran menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan.
Pajak seharusnya bukan hanya dimaknai sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh warga negara, lebih daripada itu ia adalah instrumen utama dalam membangun perekonomian yang adil dan berkelanjutan. Para capres harus mempertimbangkan kebijakan perpajakan yang berpihak pada rakyat dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, serta dapat memberikan manfaat nyata kepada masyarakat.
Tantangan perpajakan akan terus ada. Namun dengan kebijakan perpajakan yang berorientasi pada keadilan sosial dan kemakmuran bagi semua warga negara, bersama pajak kita dapat membangun masa depan Indonesia menjadi lebih cerah.