Bisnis.com, JAKARTA - Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja di industri pengolahan mengalami perlambatan secara tahunan. Padahal, pertumbuhan kinerja sektor manufaktur ini mencapai 5,20% pada triwulan III/2023, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional 4,94%.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), industri pengolahan masuk dalam 3 lapangan usaha yang menyerap tenaga kerja terbanyak yakni 13,83% dari jumlah penduduk bekerja 139,85 juta orang pada Agustus 2023.
Namun, distribusi pekerja di industri ini menurun dari periode yang sama tahun lalu sebesar 14,17%. Pada periode Agustus 2022-Agustus 2023, akomodasi dan industri makan minum menjadi sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar yakni 1,18 juta orang.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohamad Faisal, mengatakan penciptaan lapangan pekerjaan di industri pengolahan memang masih tumbuh. Namun, tetap dibutuhkan lebih banyak dan spesifik.
"Memang yang kita butuhkan lebih besar dari itu, untuk penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih besar dan juga untuk penciptaan lapangan pekerjaan lebih spesifik di industri manufaktur," kata Faisal kepada Bisnis, Rabu (8/11/2023).
Apalagi, dia melihat kondisi manufaktur saat ini tengah menghadapi berbagai tekanan, mulai dari pasar ekspor yang melemah hingga beban dolar AS yang menguat sehingga impor bahan/baku penolong semakin mahal.
Baca Juga
Faisal menuturkan, pelaku usaha semakin mencemaskan dampak dari pelemahan rupiah terhadap dolar AS apabila terjadi hingga akhir tahun. Pasalnya, hal tersebut dapat berdampak pada margin keuntungan yang tipis, penutupan pabrik, hingga gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Kalau itu terjadi berarti kan ada gelombang PHK dan tetap saja industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, yang sangat rentan terhadap kenaikan tingkat upah, dan juga banyak bergantung pada pasar global, nah ini akan rentan dan masih akan mengalami PHK," kata Faisal.
Dalam hal ini, Faisal menyebutkan efisiensi biaya produksi menjadi dan sisi pemasaran atau penguatan penjualam domestik maupun ekspor perlu didorong.
Terlebih, indeks harga produsen (IHP) sektor industri pengolahan pada triwulan III/2023 naik 0,68% terhadap triwulan II-2023 (q-to-q) dan naik 3,57% terhadap triwulan III-2022 (y-on-y).
"Ini rentan jika faktor penentu biaya produksi seperti nilai tukar rupiah, inflasi utama bahan baku/penolong ini meningkat," ujarnya.
Menurut Faisal, bagi beberapa subsektor industri manufaktur yang memiliki margin keuntungan rendah dan terdapat permasalahan dalam pemasaran maka akan sangat rentan untuk melakukan PHK.
"Bantuan efisiensi untuk menekan biaya produksi harus diupayakan supaya meminimalisir risiko PHK," pungkasnya.