Bisnis.com, JAKARTA - Data tampaknya masih menjadi problema klasik di Indonesia, tak terkecuali di subsektor ekonomi digital.
Polemik sepinya penjualan di mal atau di pusat perbelanjaan lain selalu ditimpakan pada peralihan perilaku berbelanja lewat e-dagang. Padahal kinerja e-dagang belum diketahui secara pasti.
Demikian pula, kontroversi praktik predatory pricing di salah satu platform mendorong otoritas bergegas menutupnya.
Sementara, klaim bahwa platform tersebut memfasilitasi kiprah pemain asing serta pelanggaran prosedur impor pemain lokal atas produk jualannya belum sepenuhnya terbukti.
Tidak henti sampai di situ, persoalan e-dagang mengarah pada xenophobia. Sikap anti asing muncul tidak hanya tertuju pada wadahnya tetapi juga pada produk yang ditransaksikan.
Sedangkan produk impor yang dijual dengan harga ‘miring’ di platform itu tidak melulu berasal dari satu negara tertentu.
Baca Juga
Kesimpulan final atas beberapa kasus di atas masih bisa diperdebatkan lantaran belum didukung dengan data yang valid. Kalaupun ada, datanya sekunder yang belum tentu andal. Ketidakandalan data ironisnya justru menjadi alibi untuk menjustifikasi asumsi sebagai dasar pengambilan kebijakan.
Alhasil, peraturan Badan Pusat Statistik (BPS) No. 4/2023 tentang Penyampaian dan Pengelolaan Data dan/atau Informasi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) menjadi titik tonggak. Mulai tahun depan, pelaku PMSE wajib melaporkan kinerjanya setiap tiga bulan sekali.
Terbitnya regulasi tersebut memang sudah semestinya. Dari aspek yuridis, UU No. 16/1997 tentang Statistik toh memberikan mandat kepada BPS menjadi lembaga resmi penyedia data statistik nasional. Produksi data pokok, termasuk ekonomi digital, menjadi bagian tugas BPS.
Dari area praktik, transaksi digital belakangan kian meningkat. Tren tersebut menumbuhkan kebutuhan akan basis data transaksi elektronik yang akurat. Akurasi data transaksi elektronik sangat penting bagi semua pemangku kepentingan untuk mengetahui profil ekonomi digital.
Ketersediaan data PMSE yang akurat juga memudahkan pemerintah meramu kebijakan yang efektif bagi pelaku PMSE, termasuk produsen dan konsumennya. Penguatan kontribusi ekonomi digital pada perekonomian menjadi benefit lain yang bisa diturunkan dari akurasi data PMSE.
Kendati strategis, kewajiban pelaporan data PMSE tidak lepas dari sejumlah persoalan fundamental. Pelaku PMSE berkewajiban melapor. Artinya, BPS bersikap pasif sebatas tinggal menerima laporan. Padahal dengan aplikasi teknologi tertentu, BPS dapat memantau lalu-lintas transaksi PMSE.
Kasus jadul pada blackberry bisa menjadi rujukan. Perusahaan blackberry bisa dengan mata telanjang membaca semua chatting setiap individu penggunanya. Tegasnya, BPS perlu menggandeng perusahaan teknologi informasi atau menciptakan aplikasi jika memilih proaktif mengumpulkan data mandiri.
Opsi BPS sebagai penerima laporan sejatinya membawa implikasi yang tidak ringan. Pelaku PMSE dianggap sudah memahami tiap-tiap konsep dan definisi atas data yang dilaporkannya. Padahal, setidaknya ada delapan jenis data yang wajib disampaikan pelaku PMSE kepada BPS,
Data pendapatan pelaku PMSE, misalnya, bisa bersumber dari aktivitas ekonomi digital tetapi juga bisa berasal dari kegiatan ekonomi manual. Data pendapatan bertalian erat dengan tipologi transaksi. Karakteristik transaksi kait-mengait dengan metode pembayaran yang dipakai plus tenaga kerja yang menanganinya.
Kebingungan pelaporan akan muncul ketika transaksi online dibayar secara tunai atau transaksi fisik diselesaikan dengan pembayaran elektronik. Kerancuan juga akan timbul tatkala menghitung tenaga kerja yang melayani pembelian fisik dan tenaga kerja yang mengurusi pembelian virtual.
Perlakuan yang sama untuk semua kualifikasi tenaga kerja akan membiaskan kapasitas ekonomi digital dalam penciptaan lapangan kerja. Sementara, kesamaan narasi untuk semua jenis pendapatan, transaksi, dan metode pembayaran berakibat data PMSE yang terkumpul tidak merepresentasikan performa ekonomi digital.
Intinya, data jenis mana yang wajib dilaporkan harus klir betul. Data yang tidak klir bisa menyulitkan BPS dalam melakukan agregasi. Agregasi toh hanya bisa dilakukan jika konsep dan definisinya sama. Bagaimana pun, BPS hanya boleh mempublikasikan data agregat, alih-alih data level individu.
Dengan beberapa risiko di atas, BPS perlu menjelaskan detail konsep dan definisi data yang harus dilaporkan pelaku PMSE. Apalagi data kinerja ekonomi digital masih relatif baru dan akan dirilis untuk konsumsi publik. Dua bulan terakhir sebelum tutup tahun bisa dimanfaatkan untuk sosialisasi.
Perlu dicatat pula, data adalah produk statistik dari serangkaian aktivitas ilmiah. Perbedaan konsep dan definisi menghasilkan data yang tidak sama. Data yang tidak sama memproduksi informasi yang juga berlainan. Pada gilirannya, informasi yang berlainan menyodorkan implikasi yang berbeda pula.
Menyadari pentingnya hal itu, pengguna data pun dituntut cerdas untuk menelisik konsep dan definisinya. Dengan ‘melek data’, penafsiran yang bertolak belakang hingga menimbulkan polemik akan tereduksi. Sebaliknya, pemaknaan yang berbeda akan mengkreasi diskursus yang positif.
Alhasil, sudah waktunya kebijakan berbasis data (policy based evidence) menjadi ruh setiap desain kebijakan publik di Indonesia. Kontroversi atas fenomena predatory pricing, xenophobia, dan penutupan platform di awal tulisan sejatinya berkutat pada kredibilitas data ekonomi digital.
Tanpa data ekonomi digital yang kredibel, energi dan waktu terbuang percuma tersedot hanya pada ‘kulit’ sehingga alpa menanggulangi ‘daging’ persoalan di dalamnya. Atribut ekonomi digital sebagai sumber pertumbuhan baru bagi perekonomian nasional toh sudah menjadi keniscayaan. Bukan begitu?