Bisnis.com, JAKARTA - Sejak lebih dari 20 tahun terakhir, dunia dilanda perubahan yang sangat cepat dan luar biasa.
Telah terjadi perubahan goestrategis, perang antar-negara di Timur Tengah dan di Rusia, perubahan iklim, perang Tarif antar-raksasa ekonomi dunia, AS dan China, berjangkit dan menyebarnya wabah penyakit manusia (Covid-19) dan PHMS (penyakit hewan menular strategis).
Perubahan teknologi digital, dari era IOT (internet of things) ke era Robotik (teknologi algoritmik) yang lebih dikenal dengan AI (kecerdasan buatan).
Selain itu, telah terjadi pula perubahan mendasar dalam tatanan ekonomi di dalam negeri, sebagai akibat janji politik presiden Prabowo Subianto yaitu program Makan Bergizi Gratis (MBG).
MBG merupakan kegiatan yang ditujukan bagi 80 juta pelajar. Kegiatan ini menuntut sarana dan prasarana pendukungnya yang akan menggeliatkan ekonomi di perdesaan sebagai produsen penyedia bahan baku pangan. Semua fenomena tersebut, telah berdampak langsung terhadap kegiatan di masyarakat produsen maupun konsumen.
Namun, di subsektor peternakan nasional pembangunan peternakan belum mampu mengikuti irama perubahan yang terjadi. Pembangunan peternakan berjalan stagnan bahkan cenderung terpuruk. Ciri keterpurukan pembangunan peternakan selama ini ditandai dengan membesarnya volume impor komoditas ternak sapi. Saat ini, impor daging sapi makin membesar. Laju pertumbuhan impor daging sapi selama 20 tahun (2000—2020) sebesar 21,06% (wulandari dkk, 2022). Rasio impor terhadap produksi domestik pun makin membesar dari 30% pada 20 tahun lalu, kini menjadi 52%.
Baca Juga
Kebutuhan konsumsi susu yang dipenuhi impor di era orde baru sekitar 50%, saat ini impornya tumbuh makin membesar sekitar 80%. Semenrara itu, di bidang perunggasan walaupun produksinya mampu memenuhi kebutuhan konsumen, namun industri peternakan unggas rakyat tumbuh negatif. Selain itu, terjadinya wabah PHMS seperti penyakit PMK, LSD dan ASF telah menyebabkan menurunnya produksi daging dan susu domestik.
Dalam rangka menyongsong Indonesia Emas 2045 dan berdasarkan atas fenomena yang terjadi, perubahan mendasar UU merupakan keniscayaan. UU Peternakan masa depan, harus mampu mengakomodasi perubahan yang sedang dan akan terjadi minimal 20 tahun kedepan.
Strategi perubahannya adalah menjawab semua fenomena yang sedang dan kemungkinan terjadi, yaitu sebagai berikut: bahwa UU No. 41/2014 Jo. UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang berlaku saat ini, ternyata tidak mampu lagi mengikuti fenomena yang terjadi. Tuntutan perubahan yang sangat krusial adalah memisahkan pengaturan Peternakan dengan Kesehatan Hewan menjadi UU yang terpisah.
Pasalnya, kesehatan hewan mengatur masalah Kesehatan seluruh hewan, termasuk ternak di dalamnya. Sedangkan pada sub sektor peternakan, kesehatan hewan merupakan bagian kecil dari sistem manajemen peternakan. Oleh karenanya pengaturan kesehatan hewan menjadi tidak fokus dan tidak efektif manakala digabungkan UU nya.
Perkembangan zaman menuntut hadirnya peternakan pintar (smart farming) atau presisi farming, sebagai jawaban terhadap perkembangan teknologi digital. Peternakan pintar merupakan bentuk hasil transformasi dari kondisi serba intenet (IOT) dan robotik (AI). Pasalnya, peternakan pintar belum diatur terkait digitalisasi peternakan, big data, blockchain untuk ketelusuran (traceability). Teknologi robotik dalam manajemen peternakan perlu diatur khusus terkait penerapan teknologi digital, perlindungan data, pada sistem peternakan pintar untuk produktivitas dan transparansi rantai pasok.
Dalam rangka mengatisipasi perubahan iklim dan terbentuknya peternakan pintar yang ramah lingkungan, diperlukan model mitigasi emisi gas rumah kaca dari ternak dengan strategi net-zero. Hal ini, perlunya pengaturan terkait pengelolaan limbah ternak, pengukuran carbon footprint dan insentif bagi peternakan pintar ramah lingkungan yang selama ini belum diatur
Kesejahteraan Hewan (animal welfare) sampai saat ini masih belum membumi keberadaannya. Pengakuan terhadap standar internasional kesejahteraan hewan terutama dalam transportasi, penyembelihan, dan manajemen pemeliharaan memerlukan pengaturan eksplisit terkait perlindungan hewan dari kekerasan, stres dan standar kesejahteraan hewan berbasis sains dan etika.
Keberlangsungan usaha ternak yang ditunjukkan oleh keberhasilannya sebagai tujuan utama, selama ini belum diatur untuk menjamin kesejahteraan sosial-ekonomi peternak. Pasalnya, selama ini dirasakan bahwa kebijakan lebih berorientasi kepada konsumen, yang abai terhadap produsen. Seperti misalnya, penghasilan yang layak, perlindungan harga, akses asuransi, maupun jaminan sosial. Skema perlindungan terhadap praktik pasar yang merugikan peternak, seperti predatory pricing dan ketimpangan kemitraan. Selain itu, belum ada lembaga atau mekanisme khusus yang mengawasi dan melindungi hak-hak peternak rakyat skala kecil, terutama dalam menghadapi dominasi integrator besar.
Perkembang rekayasa Bioteknologi pun belum diatur, ketentuan tentang ternak hasil rekayasa genetik (Genetically Modified Organism/GMO), kloning, paten plasma nutfah dan kini telah berkembang pula daging sintetis yang dibuat dari sel punca hewan sehingga diperlukan pengaturan terkait etika, biosafety rekayasa, mekanisme evaluasi risiko terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
Lemahnya posisi tawar peternak rakyat terhadap dominasi integrator (industri skala besar), yang selama ini terjadi sehingga perlunya pengaturan terkait kemitraan yang adil, perlindungan harga dasar, akses input dan pasar, serta keberpihakan anggaran bagi peternak rakyat.
Penghiliran industri peternakan belum banyak memiliki standarisasi, terutama industri olahan, mutu, branding produk serta penetrasi ekspor. Hal ini, diperlukan dukungan pengaturan kebijakan mengenai komoditas ekspor, sertifikasi halal internasional, traceability dan pembentukan pusat logistik produk peternakan.
Dalam kaitannya dengan transformasi peternakan, akibat perubahan lingkungan strategis, diperlukan sistem resiliensi krisis pangan. Misalnya, sistem cadangan pangan darurat didukung oleh sistem alarm yang lebih dini, karantina darurat dan cadangan protein hewani nasional.
Selain itu, di bidang pendidikan pun telah terjadi perubahan gelar akademik sarjana peternakan, menjadi profesi insinyur peternakan, sesuai dengan UU No.11/2014 tentang Keinsinyuran dan PP No. 25/2019 tentang praktik keinsinyuran pasal 6 ayat 5c. Sesungguhnya, profesi peternakan wajib hadir dalam setiap bisnis/industri peternakan yang diatur oleh UU Peternakan. Semua fenomena sebagai latar belakang kondisi, saran masukan terhadap UU Peternakan masa depan, akan memberikan percepatan dan warna terhadap pembangunan peternakan menyongsong cita cita Indonesia emas 2045.