Bisnis.com, JAKARTA – Perekonomian Indonesia masih akan dibayangi risiko gejolak dan ketidakpastian global yang tinggi yang diperkirakan berlangsung pada sisa 2023 dan tahun depan.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan bahwa sejumlah risiko, di antaranya perlambatan permintaan global, kebijakan moneter higher-for-longer bank sentral utama di dunia, telah mendorong arus modal keluar dari berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kondisi ini pun berimbas terhadap tekanan dan depresiasi pada nilai tukar rupiah. Situasi ini, di sisi lain, kata Riefky berpotensi melemahkan pertumbuhan sektor manufaktur pada sisa 2023 mengingat ekspor Indonesia sangat bergantung pada harga komoditas global dan profil impor Indonesia yang didominasi oleh bahan baku dan barang modal.
Tingginya imported inflation juga dapat berdampak pada meningkatnya ongkos produksi dalam negeri dan menekan performa sektor manufaktur.
“Menjaga stabilitas tingkat kepercayaan konsumen, tingkat harga, dan nilai tukar menjadi kunci utama untuk meredam dampak negatif pada performa sektoral dalam negeri,” kata Riefky, Jumat (3/11/2023).
Di sisi neraca keuangan dan modal, Riefky mengatakan meningkatnya ketidakpastian di pasar keuangan global akibat berbagai peristiwa telah memberikan tekanan kepada investor di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Baca Juga
Ekspektasi kebijakan higher for longer the Fed dan terjadinya ketegangan geopolitik di Timur Tengah telah memicu investor beralih dari aset-aset berisiko ke aset-aset yang lebih aman.
Tercatat, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan domestik sebesar US$4,44 miliar pada awal Agustus 2023 hingga pertengahan Oktober 2023. Akibatnya, nilai tukar rupiah terdepresiasi hingga berkisar Rp15.800 per 19 Oktober 2023.
Meski demikian, nilai tukar rupiah masih lebih baik dibandingkan sebagian besar negara berkembang lainnya, menempati peringkat kedua setelah Lira Brasil.
Untuk mengatasi tekanan eksternal, Riefky mengatakan, BI telah melakukan langkah-langkah pro-stabilitas, tercermin dari penurunan jumlah cadangan devisa menjadi US$134,9 miliar pada September 2023. Penurunan ini merupakan penurunan terbesar kedua pada cadangan devisa sepanjang tahun 2023.
Dia menilai, posisi cadangan devisa saat ini pun masih mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
BI pun secara mengejutkan menaikkan suku bunga kebijakan sebesar 25 bps menjadi 6,00% pada Oktober 2023 untuk menjaga selisih imbal hasil (yield spread) yang menarik antara obligasi pemerintah Indonesia dan AS di tengah meningkatnya ketidakpastian keuangan global.
Riefky menambahkan, BI diperkirakan akan mempertahankan kebijakan pro-stabilitasnya hingga sisa tahun ini, sambil mempertahankan inflasi yang relatif sudah terkendali.