Bisnis.com, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang tidak berjalan dengan baik berdampak pada tertekannya industri manufaktur nasional.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif mengatakan beberapa industri masih membeli harga gas di atas US$6 per MMBTU yang memicu penurunan daya saing produk.
"Kami mendorong agar kebijakan HGBT bagi sektor manufaktur dapat dijalankan dengan menegakkan aturan-aturannya," kata Febri dalam keterangan resminya, Rabu (1/11/2023).
Febri menjelaskan bahwa HGBT untuk sektor industri semestinya terlaksana dengan tepat dan sesuai peraturan yang berlaku. Adanya isu kenaikan HGBT industri akan mempengaruhi daya saing.
Di samping itu, dia pun mendorong perluasan program HGBT yang akan berdampak terhadap peningkatan investasi sektor industri di Indonesia karena adanya ketersediaan energi yang kompetitif.
"Apalagi, pemerintah fokus untuk terus meningkatkan investasi dan kinerja sektor industri manufaktur karena menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional," ujarnya.
Baca Juga
Febri mencatat, beberapa kendala terhadap penerapan HGBT, antara lain adalah sektor industri mengalami pembatasan pasokan gas bumi dibawah volume kontrak.
Misalnya, di Jawa Timur terjadi pembatasan kuota antara 27-80% kontrak dan pengenaan surcharge harian untuk kelebihan pemakaian dari kuota yang ditetapkan di hampir seluruh perusahaan.
Selanjutnya, masih ada industri penerima HGBT yang mendapatkan harga di atas US$ per MMBTU, dan bahkan ada sektor industri pengguna yang belum menerima HGBT.
"Sektor industri tersebut sudah direkomendasikan oleh Menperin mulai periode April 2021 – Agustus 2022," tuturnya.
Di sisi lain, industri manufaktur juga mengalami tekanan berat karena perekonomian dunia masih belum menentu dan tetap mengalami perlambatan karena adanya dampak perang Rusia-Ukraina dan Palestina-Israel.
Hal tersebut yang menjadi indikasi penurunan tingkat optimisme pengusaha sebagaimana tercerminkan dalam Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Oktober 2023 yang melambat ke level 50,70 turun dari 52,51 pada September 2023.
Hal ini sejalan dengan laporan Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Oktober, dengan posisi 51,5 yang turun dari September di posisi 52,3, sesuai yang dilansir oleh S&P Global.
"Untuk PMI manufaktur Indonesia, kita telah berada di posisi ekspansi selama 26 bulan berturut-turut. Meskipun industri manufaktur kita tengah mengalami gempuran yang bertubi-tubi, namun dari tingkat kepercayaan diri atau optimismenya masih cukup tinggi," terangnya.
Selain kondisi ekonomi global yang berpengaruh pada permintaan, sektor manufaktur juga mengadapi nilai tukar Rupiah yang melemah yang berakibat pada melonjaknya harga bahan baku dan biaya produksi.
Sebagai informasi, meski melemah, PMI Manufaktur Indonesia pada Oktober 2023 mampu melampaui PMI Manufaktur Amerika Serikat (50,0), Korea Selatan (49,8), Vietnam (49,6), Myanmar (49,0), Jepang (48,7), Taiwan (47,6), Thailand (47,5), Malaysia (46,8), Inggris (45,2), dan Jerman (40,7).