Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia menuturkan bahwa cadangan bijih nikel bermutu tinggi di Indonesia, selaku negara produsen utama, mungkin akan habis dalam waktu sekitar 6 tahun.
Bijih Nikel Indonesia yang memiliki kadar tinggi sebesar 1,7% terutama digunakan untuk produksi nickel pig iron (NPI), yakni bahan baku baja tahan karat berisiko mengalami kekurangan bahan.
Adapun, bijih nikel yang berkadar lebih rendah digunakan untuk membuat produk baterai kendaraan listrik.
“Pemerintah perlu melakukan upaya pengendalian yang komprehensif terhadap ketahanan cadangan nikel, sehingga dapat mempertahankan strategi hilirisasi dan meningkatkan nilai tambah,” jelas Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia Meidy Katrin Lengkey di Portugal, seperti dikutip dari Reuters, Senin (30/10/23).
Sebagaimana diketahui, penambangan dan peleburan nikel telah menjadi bagian utama perekonomian Indonesia. Investasi global senilai miliaran dolar telah mengalir ke Indonesia, setelah pemerintah melarang ekspor bijih yang belum diolah pada 2020.
Umur dari cadangan bijih mineral sendiri berupa perkiraan. Hal ini karena eksplorasi baru dapat meningkatkan ukurannya, sementara teknologi baru dapat meningkatkan tingkat pengambilannya.
Baca Juga
Lengkey kemudian menuturkan bahwa salah satu solusi untuk Indonesia sendiri adalah mendorong pengolahan bijih nikel kadar rendah di dalam negeri, yang berlangsung selama 80 tahun.
Dia juga mengingatkan bahwa terdapat wilayah yang belum dijelajahi di Indonesia, yang dapat menghasilkan cadangan lebih banyak.
Pada 2021, Indonesia mempertimbangkan untuk mengenakan pajak atas ekspor produk NPI untuk mendorong pengembangan industri baterai pada 2021. Namun, rencana tersebut tertunda karena berupaya menciptakan indeks harga nikel.
Citi kemudian menuturkan bahwa Indonesia berada di jalur yang tepat untuk menambah lebih dari separuh nikel dunia dan memproduksi separuh nikel intermediet pada 2023.
“Dengan ketergantungan global yang sangat besar terhadap pasokan dari dalam negeri, terdapat risiko yang mendorong Indonesia untuk menggunakan posisi dominannya untuk berperilaku seperti swing producer secara de facto dengan mengambil tindakan untuk membatasi pasokan,” jelas Citi, dan menuturkan bahwa risiko tersebut meningkat ketika harga lebih rendah.