Bisnis.com, TANGERANG — PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) menargetkan merger antara Citilink Indonesia sebagai entitas anak dengan Pelita Air dapat rampung pada Desember 2023.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra berharap agar proses merger dapat segera rampung karena hal ini tidak serta-merta hanya menggabungkan dua entitas usaha, tetapi juga terdapat pekerjaan mengenai legal atau hukum, hingga sumber daya manusia (SDM).
“Kami berharap harus [selesai Desember 2023], karena kalau lama-lama ribet juga. Mudah-mudahan ya, kami berharap Desember selesai,” ujar Irfan di ICE BSD, Tangerang, Jumat (27/10/2023).
Selain itu, dia mengatakan, masih terdapat banyak pembicaraan mengenai proses penggabungan ini, termasuk beberapa opsi yang dapat ditempuh.
Meski demikian, dia enggan membeberkan opsi tersebut dan hanya menyebut skenario merger akan disampaikan ketika proses penggabungan sudah mulai mengerucut.
“Kami mau mencari semuanya yang terbaik dan full support untuk Pak Erick [Menteri BUMN Erick Thohir] dan Pak Tiko [Wamen BUMN Kartika Wirjoatmodjo],” tuturnya.
Baca Juga
Menteri BUMN Erick Thohir sebelumnya mengatakan, penetapan bentuk penggabungan kedua entitas akan bergantung pada kajian pembukuan masing-masing perusahaan.
Rencananya, Garuda Indonesia akan melayani konsumen segmen premium, Pelita Air melayani pasar ekonomi premium, sedangkan Citilink akan melayani pasar low cost carrier (LCC).
Namun, dia menegaskan ketiga maskapai akan tetap beroperasi melayani penumpang sesuai dengan lisensi yang telah dikantongi.
“Kami lihat dulu pembukuannya seperti apa. Selesainya kalau bisa tahun ini, ya tahun ini, tetapi, kalau tidak bisa, mungkin awal tahun depan," kata Erick saat ditemui seusai Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta pada Kamis (31/8/2023).
Tujuan adanya penggabungan ini adalah meningkatkan jumlah pesawat yang beroperasi di Tanah Air. Hal ini lantaran jumlah pesawat yang beroperasi saat ini lebih rendah bila dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS).
Dalam perbandingannya, AS memiliki sekitar 330 juta penduduk dengan pendapatan domestik bruto (PDB) US$40.000 dapat mengoperasikan sebanyak 7.200 pesawat. Sementara Indonesia dengan jumlah penduduk 280 juta orang dan PDB US$4.700 hanya mengoperasikan 500 pesawat.
“Kalau kita ambil 10 persennya saja, berarti Indonesia harus punya 720 pesawat. Hari ini, pesawat di Indonesia ada sekitar 500 unit dan belum kembali ke level sebelum pandemi,” ujarnya.