Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Wamen BUMN Beri Bocoran Skema Merger Pelita Air & Citilink

Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo membeberkan, Citilink dan Pelita Air tidak akan dilebur menjadi satu entitas.
Pelita Air menggunakan pesawat A320./ Dok. Istimewa
Pelita Air menggunakan pesawat A320./ Dok. Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo membeberkan skema rencana merger tiga maskapai penerbangan pelat merah, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA), Citilink, dan Pelita Air

Tiko memaparkan, skema merger yang tengah digodok oleh Kementerian BUMN adalah memindahkan lisensi penerbangan dan armada pesawat Pelita Air ke Citilink. Dia menuturkan, skema merger ini tidak akan melebur badan usaha Pelita Air dan Citilink menjadi satu entitas.

“Kita lagi diskusi sama Ditjen Perhubungan Udara, kalau diperbolehkan kita akan memindahkan license dan pesawatnya Pelita ke Citilink. Jadi, tidak harus digabungkan PT-nya,” kata Tiko saat ditemui di Jakarta pada Selasa (3/10/2023).

Dengan skema tersebut, nantinya kedua maskapai akan tetap melayani penumpang sebagai entitas terpisah. Tiko menjelaskan, Pelita Air nantinya akan melayani pasar medium, sedangkan Citilink akan melayani segmen low cost carrier (LCC).

Dia melanjutkan, skema penggabungan lisensi dan armada Pelita dan Citilink dinilai lebih mudah dibandingkan dengan menggabungkan kedua badan usahanya. Pasalnya, Pelita masih memiliki aset-aset lain, seperti lapangan terbang di Pondok Cabe, layanan charter flight, dan lainnya.

“Nanti akan tergantung secara kajian karena merger PT itu berat. Kita inginnya yang flight reguler saja,” jelas Tiko.

Dia melanjutkan, Kementerian BUMN cukup puas dengan perkembangan kedua maskapai tersebut. Tiko menyebut, load factor kedua maskapai pelat merah tersebut mengalami pertumbuhan positif pascapandemi.

“Kita lihat segmentasinya sudah bagus, Pelita dan Citilink terus tumbuh di pasarnya masing-masing. Pelita bahkan sekarang load factor-nya 85 persen, karena demand-nya di segmen medium itu tinggi,” jelas Tiko.

Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir menyebut salah satu tujuan merger ketiga maskapai tersebut adalah untuk meningkatkan jumlah pesawat yang beroperasi di Indonesia. Erick memaparkan, jumlah pesawat yang beroperasi di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan kondisi di AS. 

Dia menuturkan, Negeri Paman Sam memiliki sekitar 330 juta penduduk dengan pendapatan domestik bruto (PDB) US$40.000 dilayani sebanyak 7.200 pesawat. Sementara itu, jumlah pesawat yang beroperasi di Indonesia saat ini adalah sekitar 500 unit untuk melayani 280 juta orang dengan PDB US$4.700.

“Kalau kita ambil 10 persennya saja, berarti Indonesia harus punya 720 pesawat. Hari ini, pesawat di Indonesia ada sekitar 500 unit dan belum kembali ke level sebelum pandemi,” ujar Erick.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper