Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Utama PT Angkasa Pura I (Persero) atau AP I Faik Fahmi angkat bicara terkait adanya rencana merger 3 maskapai BUMN, yakni PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA), Citilink, dan Pelita Air.
Faik mengatakan, rencana merger 3 maskapai BUMN merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengantisipasi pertumbuhan industri penerbangan. Dia menilai pertumbuhan industri aviasi pascapandemi memiliki potensi yang cukup besar.
Seiring dengan hal tersebut, pelaku industri terkait seperti maskapai perlu memperkuat diri agar dapat mengakomodir pertumbuhan pergerakan penumpang baik domestik maupun internasional.
“Saya kira ini merupakan sebuah upaya pemerintah agar maskapai BUMN ini benar-benar bisa berkembang lebih baik ke depannya,” jelas Faik dalam acara Media Gathering di Jakarta, dikutip Kamis (31/8/2023).
Faik menilai, merger antara Garuda Indonesia, Citilink, dan Pelita Air akan berimbas positif pada AP I sebagai pengelola bandara.
Dia mengatakan, penggabungan usaha tersebut akan memperkuat kinerja maskapai, sehingga jangkauan penerbangan berpotensi semakin luas. Hal tersebut pun akan turut mengerek naik jumlah pergerakan penumpang.
Baca Juga
“Proses ini [merger] kan masih dalam tahap evaluasi, tetapi menurut kami dampaknya akan positif,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, menyampaikan rencana merger tiga maskapai penerbangan pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA), Citilink Indonesia, dan Pelita Air.
Setidaknya ada dua alasan yang dikemukakan Erick Thohir terkait rencana merger Garuda, Citilink dan Pelita Air.
Pertama, dia menyebut rencana ini merupakan salah satu upaya agar biaya logistik di Indonesia terus menurun sehingga semakin meringankan dunia bisnis. Erick mendorong efisiensi terus menjadi agenda utama pada perusahaan-perusahaan milik negara.
"Kami upayakan Pelita Air, Citilink, dan Garuda merger untuk menekan cost," kata Erick.
Alasan kedua ialah mengatasi masalah kekurangan armada. Erick menyebutkan Indonesia masih kekurangan sekitar 200 pesawat. Perhitungan itu diperoleh dari perbandingan antara Amerika Serikat dan Indonesia.
Dia memaparkan, terdapat 7.200 pesawat yang melayani rute domestik di AS. Pesawat-pesawat tersebut melayani sekitar 300 juta penduduk AS yang memiliki rerata Pendapatan Domestik Bruto (PDB) mencapai US$40.000.
Sementara itu, di Indonesia terdapat 280 juta penduduk yang memiliki PDB US$4.700. Hal tersebut berarti Indonesia membutuhkan 729 pesawat.
"Padahal sekarang, Indonesia baru memiliki 550 pesawat. Jadi perkara logistik kita belum sesuai," ujarnya.