Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Anita Iskandar

Direktur Kerjasama Internasional Kepabeanan dan Cukai

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : CBAM, Perdagangan Global dan Perubahan Iklim Dunia

Komoditas kelapa sawit Indonesia menghadapi tantangan dari sisi perdagangan dengan adanya kebijakan EUDR, yakni aturan bebas deforestasi dari Uni Eropa.
Panen kelapa sawit
Panen kelapa sawit

Bisnis.com, JAKARTA - Komoditas kelapa sawit Indonesia menghadapi tantangan dari sisi perdagangan dengan adanya kebijakan EUDR, yakni aturan bebas deforestasi dari Uni Eropa yang dianggap diskriminatif.

Indonesia bersama Malaysia berupaya menyelesaikan beberapa masalah, seperti penerimaan skema sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan secara nasional seperti ISPO dari Indonesia hingga sistem tolok ukur dalam implementasi aturan deforestasi.

Dibahas juga masalah yang lebih detail mengenai operasional, seperti geolokasi, legalitas, dan ketertelusuran lahan. Malaysia mengindikasikan keterkaitan negosiasi EUDR dengan proses pembahasan FTA (Free Trade Agreement) antara mereka dan UE.

Terlepas hasil dari upaya-upaya yang dilakukan Indonesia, mungkin ada baiknya memahami secara lebih luas bahwa EUDR tidak berdiri sendiri. Dia termaktub dalam satu paket besar kebijakan dari EU Green Deal yang bertujuan untuk menjadikan emisi kawasan UE net zero pada 2050 dengan sasaran antara menurunkan emisi gas rumah kaca 55% pada 2030.

EU Green Deal mencakup kebijakan dalam beragam bidang, mulai dari energi, pertanian, inovasi teknologi, hingga finansial. Beberapa kebijakan yang sudah diterapkan internal UE, misalnya sistem perdagangan emisi dan standar emisi CO2 untuk kendaraan bermotor.

Namun, ada satu kebijakan berorientasi eksternal dan bisa berdampak global yaitu CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) atau secara umum disebut Carbon Border Tax (CBT) alias Pajak Karbon Perbatasan.

Jika EUDR hanya berdampak pada negara-negara pemilik hutan dan melakukan ekspor komoditas tertentu ke UE, maka CBAM menyasar pada keseluruhan produk yang masuk dalam Emission Trading System (ETS) UE atau bursa karbon Uni Eropa.

CBAM berperan mengatasi risiko kebocoran karbon dari luar UE dan memperkuat ETS UE. Dengan demikian ada hubungan kuat antara ETS UE dan CBAM. UE tidak mau jika produksi barang dan jasa di UE yang menghasilkan emisi karbon kemudian di-offset (ditebus) melalui ETS UE, harus bersaing dengan produksi barang dan jasa dari luar UE yang emisi karbonnya tidak ditebus melalui ETS UE.

Jadi, tujuan CBAM adalah menegakkan nilai dan tarif ETS UE untuk produk yang masuk UE. Kalaupun sudah dilakukan perhitungan emisi karbon di negara asal dan dibayarkan pajak karbonnya atau melakukan penebusan melalui kredit karbon, tetap harus disesuaikan dengan nilai dan tarif EU ETS.

Jika ada selisih, itulah yang harus dibayar dengan sertifikat CBAM alias CBT. Ini kemungkinan besar yang akan terjadi, karena saat ini harga emisi karbon di ETS UE merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.

CBAM akan diawali dengan produk semen, besi dan baja, aluminium, pupuk, listrik, dan hidrogen. Untuk komoditas dari Indonesia yang paling harus diwaspadai di awal adalah aluminium yang proporsi eksporya ke UE lebih dari 21% total ekspor.

Di urutan kedua dan ketiga ada besi dan baja, serta semen yang berturut-turut 7,5% dan 6,9%. Terlepas dari besaran nilai produk yang akan terkena CBT di awal, tentunya secara menyuluruh antisipasi terhadap CBAM ini harus sudah mulai disiapkan, baik di tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional.

Peraturan CBAM secara resmi mulai berlaku sehari setelah dipublikasikan di Jurnal Resmi UE pada 16 Mei 2023. Fase transisi telah dimulai pada 1 Oktober 2023—31 Desember 2025, dengan periode pelaporan pertama untuk importir berakhir pada 31 Januari 2024. Implementasi penuh akan mulai sekitar 2,5 tahun lagi, yakni pada 1 Januari 2026.

Akan tetapi implementasi penuh tidak diterapkan dengan nilai karbon sesuai ETS-nya, karena saat ini produk CBAM produksi UE ada tunjangan ETS gratis untuk produsen UE. Tunjangan gratis ini akan dikurangi 10% setiap tahun mulai 2025, yang mengakibatkan penghentian total pada 2035.

Sedangkan CBAM untuk impor akan secara bertahap dilakukan dengan ritme yang sama, sehingga hanya akan berlaku untuk proporsi emisi yang tidak menikmati tunjangan gratis.

Lalu seperti apakah dinamika CBAM ini terhadap perdagangan dunia? CBAM bukan hal baru. Pada 2012, UE pernah mencoba menerapkan CBAM dalam dunia penerbangan, tetapi ditolak oleh sebagian besar negara kuat di luar UE (termasuk Brasil, China, India, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Nigeria, Rusia, dan AS), sehingga menyebabkan kebijakan itu ditarik kembali.

Dengan CBAM terhadap komoditas yang dianggap memiliki emisi tinggi yang akan diterapkan nanti, dinamika pasti akan terjadi termasuk tindakan-tindakan resiprokal yang dilakukan oleh negara lain, utamanya negara produsen komoditas terkait dan kemungkinan akan memiliki efek domino yang disebut Brusssel effect.

Untuk CBAM produk manufaktur, salah satu perhatian utama adalah terkait dengan kesenjangan harga emisi karbon pada ETS-ETS yang sudah ada. Sebagai ilustrasi, harga emisi karbon per Maret 2023 di ETS UE senilai US$96,3 per ton, sementara di Indonesia walaupun belum memiliki ETS, tetapi jika mengacu pada UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan 2021, tarif pajak karbon minimal sekitar US$2 per ton.

Walaupun dua hal ini tidak bisa diperbandingkan secara langsung, tetapi dapat memberikan gambaran sebesar apa tingkat kesenjangan harganya.

Berdirinya Bursa Karbon Indonesia pada September lalu memberikan dinamika pada ekulibrium ini dengan rentang waktu hingga 2035 ketika CBAM akan diterapkan secara penuh. Akan timbul pertanyaan-pertanyaan menarik sepanjang waktu itu.

Apakah Brussel effect dapat terjadi? Atau terjadi efek sebaliknya dengan makin menguatnya reshoring dan deglobalisasi dunia. Apakah Bursa Karbon Indonesia bisa berkonsolidasi dengan harga karbon dan ETS global? Yang tak kalah penting adalah pertanyaan mendasarnya, apakah upaya mitigasi dan adaptasi perubahan Iklim, yang menjadi landasan dari semua kembangan ekonomi di atas dapat terlaksana sesuai mandat COP?

Terlepas dari instrumen ekonomi, sosial politik hingga teknologi dunia yang berkelindan, Kita semua berharap umat manusia dapat mengatasi krisis terbesar semenjak adanya peradaban.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper